SOLO (voa-islam.com)--Perppu 2/2017 tentang keormasan dinilai menandai mundurnya kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Bahkan Perppu ini rawan menimbulkan kegaduhan dalam berbangsa dan bernegara.
“Sejak awal kemunculan Perppu ini mengandung unsur konflik,” ujar Drajat Tri Kartono Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Senin (24/7/2017).
Menurutnya, Perppu nomor 2/2017 tentang keormasan membuat pemerintah lebih dominan dalam penyelenggaraan negara. Bahkan dalam Perppu tersebut seolah-olah presiden selaku pembuat Perppu ingin berhadap-hadapan langsung dengan warga negara atau kelompok yang dianggap sebagai ‘lawan’ politik.
Hal ini ditandai dengan dihapuskan peran pengadilan dalam pembubaran ormas. Padahal Indonesia merupakan negara hukum, sehingga hukum menjadi panglima dalam penyelenggaraan negara.
“Kedudukan negara dan warga negara tidak lagi bersekat hukum lagi, sehingga Perppu ini dianggap cukup sebagai senjata untuk mengadili siapapun yang dianggap menjadi lawan lawan politik. Misalnya saat ini HTI," imbuh Drajat.
Selain itu, Darajat melihat adanya upaya memyulut konflik agar horizontal. Hal ini terlihat dengan maraknya propaganda dukung Perppu 2/2017, ditengah santernya penolakan atas perppu tersebut.
“Sudah terbukti bahwa Perppu ini menimbulkan kegaduhan,” tegas dia.
Menurut Drajat, suasana saat ini mengingatkan pada Undang undang Subversif yang pernah diterapkan era Orde Baru. Saat itu, negera dengan kekuatannya dapat menindak siapaun yang dinilai melawan negara.
“Saya kahwatir Perppu ini menjadi seperti itu. Memang pemerintah diperlukan tapi masyarakat punya hak antara dua kepentingan itu ada hukum yang menjadi panglima dalam kehidupan bernegara,” ujar Drajat.
Namun demikian, Drajat berharap masyarakat, terutama yang kontra dengan pemberlakukan Perppu tidak terpancing. Menurutnya masih ada langkah hukum dengan mengajukan gugatan ke MK sebagaimana yang dilakukan oleh HTI. Menurutnya hal ini justru akan memberikan kepastian hukum yang adil bagi semua pihak. * [Aan/Syaf/voa-islam.com]