JAKARTA (voa-islam.com)- Pengamat politik, Ferdinand Hutahean mengatakan saat ini jagad Indonesia menjelang perayaan Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus kembali disuguhi akrobat pemerintahan sebagai jawaban atas lemah, letih, lesunya (meminjam istilah iklan sebuah produk jamu) ekonomi bangsa. Akrobat politik itu menurutnya bertajuk Reshuffle Kabinet atau pergantian menteri.
“Seperti dalam sepak bola, ada pergantian pemain. Meski reshuffle adalah hak prerogratif presiden, namun sungguh tak elok empat kali reshuffle dalam tiga tahun pemerintahan. Untuk apa sesungguhnya Resufle kabinet kali ini? Benarkah ini untuk kebutuhan bangsa?
Atau hanya untuk memuaskan ekspektasi kekuasaan seorang Presiden belaka? Dan benarkah resufle menjadi jawaban atas semua kegagalan pemerintah dibawah pimpinan Presiden Jokowi? Sayapun tidak tahu apa yang ada didalam hati dan pikiran Presiden.
Saya hanya mencoba melihat dan menganalisis serta mungkin memberi solusi kepada pemerintah. Solusi ini menjadi sangat perlu supaya Saya atau kita tidak dituduh nyinyir atau cuma ribut saja tanpa mampu memberi solusi,” sampainya, melalui siaran pers yang didapat voa-islam.com, Selasa (15/08/2017).
Namun demikian, menurut pengamat dari Rumah Amanat Rakyat (RAR) ini kegagalan pemerintah menumbuhkan ekonomi adalah fakta nyata akibat ketidakmampuan kabinet dalam menyusun agenda dan program serta kebijakan-kebijakan ekonomi yang pro rakyat, pro pengentasan kemiskinan dan pro pertumbuhan tenaga kerja.
“Pertanyaannya, mengapa kabinet tidak mampu? Ini tentu ada beberapa jawaban. Pertama mungkin saja pimpinan kabinet atau presiden tidak punya atau tidak mampu menuangkan garis kebijakan yang akurat menjawab kebutuhan bangsa. Kedua, mungkin presiden tidak cakap memilih menteri yang cakap bekerja.
Dan etiga, presiden salah kebijakan sehingga kabinet yang dipimpin pun salah arah dan sesat dijalan lurus.” Bila membandingkan dengan negara-negara regional dan negara berkembang, dia menyatakan Indonesia adalah salah satu negara yang pertumbuhan ekonominya stagnan bahkan merosot. “Filipina misalnya tumbuh diangka 6,9 persen. Vietnam tumbuh 6,3 persen, Kamboja 6,9 persen, Myanmar 6,9 persen.
Itu sedikit negara dekat yang bisa kita bandingkan, tidak usah jauh-jauh ke benua Afrika sana atau Eropa. Malu kita, kejauhan itu, kita bandingkan saja dengan tetangga kita.” (Robi/voa-islam.com)