JAKARTA (voa-islam.com)- Anak korban peristiwa Tanjung Priok, Daud Bereuh bercerita bagaimana dia dan masyarakat lainnya mengalami subversif pemerintah Orde Baru melalui tentara. Saat itu Orde Baru pun menurutnya menguatkan sistem kemiliterannya kepada masyarakat.
"Ayah saya ditangkap, ditahan, dan dipenjarakan dengan vonis subversif selama 14 tahun. Mendapat remisi karena mengabdi kepada negara dipotong enam tahun. Jadi menjalani hukuman selama delapan tahun.
Saat ini ayah saya adalah Ketua pengurus atau rektor di sekolah tinggi daurah Islam Tanjung Priok, Jakarta Utara. Itu kurang lebih profil ayah saya. Posisi kebijakan Orde Baru saat itu, jadi bisa katakan ada satu sistem yang memang dipertahankan oleh rezim tersebut dengan menggunakan satu kekuatan militer.
Misalnya ketika saat itu penguasa tidak mempunyai legitimasi yang kuat di parlemen maka yang kemudian terjadi adalah menambah fraksi ABRI (TNI) di sana," ceritanya di hadapan para wartawan, belum lama ini di kantor KontraS, Jakarta. Dirasa belum cukup, pemerintah menurutnya kembali menguatkan dirinya melalui parlemen.
"Kemudian juga merasa tidak cukup untuk melakukan hegemoni dan kontrol terhadap masyarakat sipil maka pada tahun 1978 ada instruksi khusus yang dipelopori oleh partai pemerintah saat itu termasuk fraksi ABRI dan Polri untuk mengusung Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang kemudian pada tahun 1980 bermuara pada arahan atas tuduhan anti Pancasila, yang kemudian dilegalkan oleh ketetepan MPR tahun 1983, yang pada pokoknya semua kekuatan sipil maupun partai politik baik itu ormas itu harus mengacu pada satu asas," ia menjelaskan.
Atas "kedigdayaan" tersebut, warga/masyarakat pun melakukan kritisi. "Kemudian mendapatkan kritik tokoh saat itu di Tanjung Priok. Di Tanjung Priok ada yang namanya Amir Biqi.
Dia adalah salah satu yang menginspirasi tokoh lain untuk melakukan penolakan terhadap kebijakan pemerintah saat itu yang dianggap diskriminatif terhadap warga negara. Dan kemudian penolakan-penolakan tersebut dimanifestasikan melalui bentuk ceramah-ceramah di masjid.
Sampai pada akhirnya menjadi pemantik saat Babinsa masuk ke masjid mencopot pamflet dengan air kotoran (selokan)," tambahnya bercerita.
Saat itu menurutnya banyak masyarakat dan tokoh di sana yang menyaksikan perbuatan Babinsa tersebut--akhirnya terjadi pembakaran sepeda motor milik tentara tadi. Tapi tidak tahu siapa yang memulai karena sudah banyak warga saat itu, kemudian tokoh-tokoh atau masyarakat setempat yang berjumlah empat, yang sebetulnya mendamaikan kejadian itu agar peristiwa itu tidak meluas.
Tapi malah kemudian ditangkap oleh Kodim saat itu. Dibawa ke Kodim Jakarta Utara. "Kemudian terjadi suatu arus dari tokoh Tanjung Priok saat itu, yakni Amir Biki dan kawan-kawan untuk melakukan pembebasan empat orang yang ditangkap oleh Kodim.
Terjadilah peristiwa Tanjung Priok. Kurang lebih pada malam hari (sebelumnya) digelar tablig akbar atau mimbar bebas yang orasi-orasinya atau para penceramahnya mengritik kebijakan Orde Baru yang dianggapa diskriminatif terhadap warga negara yang lain," bebernya.
Kemudian pada saat itu para tokoh juga sudah memberikan peringatan kepada Kodim dan Polres saat itu untuk membebaskan empat orang di sana karena mereka tidak bersalah. Mereka hanya melerai dan mendamaikan apa yang terjadi antara Babinsa dan masyarakat tadi.
"Tetapi tidak dihiraukan, maka kemudian setelah tablig akbar selesai masa kemudian dengan damai berjalan ke Kodim Jakarta Utara dan juga Polres.
Nah saat itulah terjadi penghadangan oleh regu pertahanan Udara atau yang disebut Arah AU yang dipimpin saat itu Seksi II Sutrisno dan Sriyanto, yang ketika masyarakat berjalan malah dilakukan penembakan di tempat.
Dan saat itu terjadilah banyak korban. Baik korban meninggal, termasuk salah satu tokoh Tanjung Priok Amir Biqi itu meninggal di tempat. Lainnya ada yang hilang dan luka-luka," kenangnya.
Setelah peristiwa Tanjung Priok terjadi malam hari itu ia menyebut terdapat perintah oleh Pangdam DKI Jakarta saat itu adalah Try Sutrisno untuk membersihkan seluruh tempat termasuk darah-darah yang berceceran sekitar lokasi dengan menggunakan mobil pemadam kebakaran.
Hingga kini, kasus atau peristiwa tersebut menurutnya masih belum tuntas. Walaupun peristiwa tersebut sempat duduk di pengadilan dan diurus oleh Komnas HAM saat itu.
"Kemudian Komnas melakukan penyelidikan dan poin dari penyelidikan itu adalah terdapat pelanggaran HAM yang berat di peristiwa Tanjung Priok dalam bentuk pembunuhan secara kilat, penyiksaan, penghilangan secara paksa, dan juga perampasan kemerdekaan. Lalu dinaikkan ke Kejaksaan Agung.
Kemudian tahun 2003 dan 2004 digelar persidangan HAM tanjung Priok. Ada beberapa nama yang tidak dimasukkan penyidikan. Terbatas hanya pada empat kelompok," tutupnya bercerita. (Robi/voa-islam.com)