JAKARTA (voa-islam.com)- Pengamat komunikasi politik Hendri Satrio berharap paska disahkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 menjadi UU Ormas rezim Joko Widodo tidak dicatat sejarah sebagai pengekang kebebasan. Baik itu pengekangan untuk berpendapat dan juga pengekangan di dalam mengimplementasikan demokrasi.
“Semoga sejarah tidak mencatat bahwa di rezim ini telah memulai langkah pengekangan kebebesan berpendapat dan demokrasi,” harapnya, di akun Twitter pribadi miliknya, Selasa (24/10/2017). Sebab menurutnya, jika pengekangan ini terjadi, maka yang akan dimintai pertanggungjawaban bukanlah seorang bawahan, melainkan langsung atasannya. Dan bukan pula partai politik.
“Dampak politis bila UU Ormas disalahgunakan dalam implementasi akan langsung ke Presiden, bukan menteri apalagi parpol yang mengesahkan.”
Sebelumnya di rapat paripurna yang digelar oleh DPR RI akhirnya menyetujui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 menjadi UU. Pengesahan atau sikap setuju ini dilalui melalui voting. Hanya tiga Fraksi yang menolak dengan tegas Perppu dijadikan UU, yakni PKS, PAN, dan Gerindra. Sedangkan sisanya setuju bahwa Perppu di-undang-undangkan. Ada tujuh fraksi, yaitu PDIP, Golkar, Demokrat, Hanura, Nasdem, PKB, dan PPP.
Namun demikian, dari tiga partai mendukung mengajukan permintaan bahwa Perppu tersebut mesti direvisi di beberapa pasalnya. Dari banyaknya anggota DPR yang berjumlah ratusan tersebut, 300-an lebih sepakat Perppu dijadikan UU. Itu dari jumlah anggota sebanyak 445. (Robi/voa-islam.com)