JAKARTA (voa-islam.com)- Politisi Gerindra, Fadli Zon menilai pemerintah kembali masuk dalam jebakan ala Revolusi Hijau saat menyusun kebijakan sektor pertanian, karena kemudian yang dikejar hanyalah target produksi pangan. Pemerintah menurut jadi mengabaikan banyak hal penting, seperti kesejahteraan petani, misalnya, serta pentingnya memperhatikan soal kedaulatan.
“Lihat saja, untuk meningkatkan produksi jagung, misalnya, pemerintah bekerja sama dengan Bayer-Monsanto untuk penyediaan benih. Begitu juga untuk padi.
Pada tahun 2017, sekitar 300 ribu ton benih berasal dari korporasi (60 persen), dan sisanya berasal dari perusahaan benih BUMN (40 persen). Dengan fakta-fakta ini, jangan heran jika keuntungan dalam peningkatan produksi pangan kmdian tak lagi dinikmati oleh petani, melainkan dinikmati oleh korporasi,” demikian tulisan akhirnya di tahun 2017 melalui Twitter pribadi miliknya.
Pemerintah juga menurutnya seolah tak melihat bahwa kedaulatan piring makan kita seharusnya dimulai dari kedaulatan benih dan pupuk. Sepanjang 2017, dia juga belum melihat pemerintah serius mengerjakan agenda reforma agraria. Padahal, masalah utama petani di pedesaan adalah ketimpangan penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah.
“Ketimpangan justru semakin melebar khususnya dalam tiga dekade terakhir. Sumber-sumber agraria di pedesaan kini dikuasai oleh korporasi. Sayangnya, pemerintah kemudian menerjemahkan agenda reforma agraria sebagai agenda bagi-bagi sertifikat tanah. Padahal, bagi mereka yang belajar kajian agraria, tahapan awal dari reforma agraria adalah registrasi tanah. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat ketimpangan pemilikan tanah.”
Sementara, sertifikasi adalah tahapan paling akhir. “Bukankah, menggelikan di satu sisi pemerintah menjanjikan reforma agraria, namun tanah obyek reforma agrarianya sendiri tidak jelas? Lebih ironis lagi, selama masa pemerintahan @jokowi konflik agraria justru meningkat drastis.
Selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, menurut data KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), terjadi sebanyak 1.361 konflik agraria. Dari jumlah tsbt, 659 konflik agraria terjadi pd 2017. Dibanding tahun 2016, konflik agraria yang terjadi pada 2017 meningkat hingga 50 persen. Semoga catatan buruk ini tak bertambah lagi pada 2018. Sekali lagi, saya ingin mengingatkan kembali pemerintah @jokowi bahwa indikator keberhasilan pembangunan bukanlah berapa ribu kilometer jalan tol yang berhasil diselesaikan, namun apakah para petani, nelayan, dan rakyat kita secara umum kehidupannya semakin membaik atau tidak.” (Robi/voa-islam.com)