JAKARTA (voa-islam.com)- Di abad ke-21, kita menurut salah satu tokoh cendikiawan sudah berada di situasi yang sama sekali berubah dalam sistem yang disebut demokrasi ini. Tidak seperti sebelum-sebelumnya. “Yang mewakili itu ada dua macam, dalam arti diwakili ke dalam struktur umara (ulil amri) melalui fisik dan ide. Yang paling utama dari demokrasi itu adalah hitungan-hitungan jumlah,” tutur Jimly Asshiddiqie, Rabu (14/02/2018), di Jakarta.
Bahkan dalam demokrasi ini, isi pikiran dari para tokoh agama pun menurut dia ikut “dihitung”. Siapa yang banyak, dia yang menentukan keputusan. Maka lama kelamaan, ide-ide tentang keulamaan, nilai-nilai kecendikiawanan, nilai-nilai kebenaran ilmiah yang tidak memerlukan jumlah suara mayoritas, itu tersingkir,” tambahnya menjelaskan.
Secara alamiah menurut Ketua ICMI ini nilai-nilai keulamaan tersingkir. “Betul, ulama sebagai person—representasi bisa menjadi pemimpin, tokoh, jadi umara. Ulama menjadi pejabat, banyak. Tapi sesudah menjadi pejabat, dia menjadi orang biasa. Hitungannya sama seperti yang bukan ulama.
Profesor-Doktor dengan tamat SMA, sama harganya di DPR situ. Jadi, demokrasi modern itu tidak mengutamakan keulamaan sebagai nilai. Sebagai ideas. Yang dipentingkan adalah cukup representasi keulamaan—inpresion, maka nilainya sama dengan orang biasa,” tutupnya. (Robi/voa-islam.com)