View Full Version
Sabtu, 07 Apr 2018

Mau Tahu dari Mana Asal Pasal 33 Muncul? Ini Dia Sejarahnya

JAKARTA (voa-islam.com)- Pada tahun 1932, Bung Karno menulis di koran Suluh Indonesia Muda tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Yaitu, nasionalisme yang diperjuangkannya sangatlah berbeda dengan nasionalisme di eropa. Serta bentuk demokrasi yang diperjuangkannya pun berbeda dengan demokrasi ala eropa.

Soekarno menyebut nasionalisme Eropa itu sebagai nasionalisme borjuis, sedangkan demokrasi di eropa dikatakannya sebagai demokrasi borjuis. Soekarno lantas mengajukan konsepsi sendiri yang terkenal: sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat, sedang sosio-demokrasi adalah demokrasi masyarakat.

Kelak, ketika Bung Karno semakin mematangkan fikirannya mengenai Indonesia merdeka. Gagasan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi ini juga mempengaruhi corak ekonomi untuk Indonesia merdeka. Versi lain menyebutkan, yang pertama sekali memunculkan istilah demokrasi ekonomi dan demokrasi politik adalah Mohammad Hatta.

Tahun 1931 di Daulat Ra’jat Bung Hatta menulis: Bagi kita, rakyat yg utama, rakyat umum yg mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souvereinteit). Pada tahun 1932, Bung Hatta melengkapi gagasannya mengenai kedaulatan rakyat melalui tulisannya yang monumental, ke arah Indonesia Merdeka. Segala Hukum (Recht, peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak. Serta aturan penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat. Mohammad Hatta, yang saat itu menjadi anggota BPUPKI, pada 30 Mei 1945, menyampaikan pidato rinci mengenai dasar perekonomian Indonesia.

Bung Hatta mengatakan, “perekonomian Indonesia merdeka akan berdasar pada cita-cita tolong-menolong & usaha bersama. Tentunya, yang akan diselenggarakan berangsur-angsur dengan koperasi.” Hatta juga mengatakan, “perusahaan-perusahaan besar yang mengusai hajat hidup orang banyak, tempat beribu-ibu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, mestilah dibawah kekuasaan pemerintah.”

Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, yang dikenang sebagai hari lahir Pancasila, menyinggung soal demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. "Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup." -Bung Karno. Yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Bung Karno mengatakan: “Marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik. Tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.” Itulah yang dikatakan Bung Karno dihadapan anggota BPUPKI.

Konon, pidato Hatta dan Bung Karno inilah yang mempengaruhi penyusunan pasal 33 UUD 1945. Ketika itu meskipun berumur 1 hari, tetapi republik bernama Republik Indonesia berhasil menyelesaikan penyusunan konstitusinya: UUD 1945. Dalam sebuah symposium di FEUI tahun 1955, Wilopo, yang saat itu menjabat ketua Konstituante, berusaha menafsirkan pasal 33 UUD 1945. Katanya, azas kekeluargaan dalam pasal 33 UUD 1945 berarti penentangan keras terhadap liberalisme.

Sebuah sistem yang menurutnya menimbulkan praktik penghisapan manusia oleh manusia, kesenjangan ekonomi, & cenderung menekan kaum buruh. Istilah usaha bersama, Wilopo, mengungkapkan buah fikiran tentang suatu usaha yang sama sekali berbeda dengan usaha swasta. Dalam usaha swasta itu semua keputusan itu ada di tangan pengusaha dan seluruh kehidupan dan pekerjaan si pekerja ada di tangan majikan.

Karena liberalisme keadaan dalam mana para pekerja umumnya dapat ditekan oleh keharusan masyarakat, maka kita menentang sistem demikian. Karena itu, menurut Wilopo, kegiatan ekonomi menurut pasal 33 tidak lagi mengandung logika mencari keuntungan pribadi. Melainkan motif untuk mengabdi kepada masyarakat demi kebaikan bersama.

Menurut Salamuddin Daeng, peneliti Institute for Global Justice (IGJ), pasal 33 UUD 1945 merupakan antitesa sistem kapitalisme & komunisme. Tetapi Daeng menggaris bawahi bahwa pasal 33 merupakan sistim ekonomi yang diambil dari tata cara orang Indonesia sejak dahulu.

Yaitu dalam menjalankan aktivis ekonomi. Sehingga, karena itu, tidak dapat dipisahkan dari ajaran Pancasila. Sayang sekali, baik Pancasila maupun UUD 1945 khususnya pasal 33 tidak pernah dijalankan secara murni dan konsekuen. Terutama oleh pemerintahan sejak Indonesia merdeka, terutama sejak orde baru hingga sekarang ini. (Robi/voa-islam.com)

*DPP Gerindra


latestnews

View Full Version