View Full Version
Jum'at, 13 Apr 2018

Soal Lama Terkait Pilkada (Tak) Langsung: Mahfud Membantah, Yusril Menerangkan

JAKARTA (voa-islam.com)- Dua Profesor, Mahfud MD dan Yusril Ihza Mahendra saling meluapkan argumen terkait Pilkada. Adu argumen ini tercipta kurang lebih karena adanya wacana atas keinginan Pilkada sebaiknya tidak dipilih secara langsung seperti Pilpres. Dan sebetulnya soal lama.

Yusril misalkan, kala di pemerintahan masih dijabat SBY mengatakan sebenarnya (kita) mau begitu (Pilkada kembali ke DPRD) dan sudah ada RUU begitu, tapi kemudian Pak SBY mengeluarkan Perppu (Pilkada langsung). Akan tetapi, menurut Yusril tiba-tiba waktu Pak SBY pulang ke Jakarta, ada statement dari Pak Mahfud MD, 'hati-hati pendapat Pak Yusril itu jebakan batman'. “Ya udah, Pak SBY kan langsung berputar balik,” demikian dikutip dari rmol, 9 April 2018.

Sontak ucapan Yusril di media tersebut dianggap Mahfud menyesatkan dan juga dianggap tendensius. Berikut respon Mahfud, yang ditulisnya di akun Twitter pribadi miliknya, Kamis (12/4/2018):

Pernyataan Yusril dia bawah ini bertentangan dengan fakta dan “agak” “menyesatkan” (Yusril: SBY Putar Balik Karena Statement Mahfud MD politik.rmol.co/read/2018/04/1…)

Saya kultwit faktanya berikut ini: Statement Yusril terasa ingin memberi kesan bahwa: 1) Saya mendukung Pilkada Langsung; 2) Saya yang menginspirasi SBY untuk berbalik arah sehingga mengeluarkan Perppu. Itu semua manipulatif dan tendensius.

Inilah fakta yang bisa dilacak jejak digitalnya. Sebagai Ketua MK yang mengadili sengketa Pilkada sekitar 395 kasus saya adalah salah seorang yang mengusulkan agar Pilkada kembali dilakukan di DPRD. Itu saya kemukakan pada Seminar Nasional antara MK, KPU, dan Kemendagri pada bulan Pebruari 2012 di Hotel Mulia. Pada seminar itu tampil sebagai narasumber: Menko Polhukam Joko Suyanto, Ketua MK Mahfud MD, Mendagri Gamawan Fauzi, Ketua KPU A. Hafidz.

Semua narassumber setuju: Pilkada dikembalikan ke DPRD karena Pilkada Langsung lebih banyak mudharatnya. Materi seminar itu sudah dibukukan.

Setelah seminar 2012 itu Pemerintahan SBY, melalui Mendagri Gamnawan Fauzi dengan surat Presiden, mengajukan RUU Pilgub. Pilbup, Pilwali (Pilkada) yang berisi perubahan sistem Pilkada dari langsung menjadi dipilih oleh DPRD. Waktu itu semua parpol di DPR-RI menyetujui. Ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah juga mendukung secara terbuka, Pilkada di DPRD saja. Kata mereka, Pilkada langsung telah merusak moralitas rakyat dan mem-belah-belah kehidupan sosial. Penyalahgunaan jabatan, kekerasan politik, dan money politic marak di Pilkada langsung.

Masalah politiknya muncul: RUU yang sebenarnya sudah mulus di DPR itu proses akhir pengesahannya dilakukan pada saat Pilpres yang polarisasi politiknya terbelah ke dalam Koalisi Merah Putih (KMP) pendukung Prabowo dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi. Sidang Paripurna DPR bulan Okt' 2014 berlangsung panas. Parpol-parpol yang tadinya pro Pilkada di DPRD ada yang berbalik, meminta Pilkada langsung.

LSM-LSM berteriak bahwa Pilkada lewat DPRD membawa kemunduran demokrasi yang sudah kita bangun dengan susah payah.

Mengapa jadi begitu? Waktu itu atraksi politik yang muncul adalah: Jika Pilkada dilakukan lewat DPRD akan menimbulkan ketidakseimbangan. Sebab para DPRD akan dikuasasi oleh KMP sebagai pemenang Pilleg 2014 padahal pemenang Pilpres adalah KIH. Ini sangat potensial menimbulkan instabilitas. Itulah.

NU dan Muhammadiyah juga mengubah pandangannya, meskipun tidak institusional. Ketua PBNU Hasyim Muzadi dan Katib Am PBNU Malik Madani yang tadinya gencar mengusulkan Pilkada lewat DPRD kemudian mendukung Pilkada langsung. Situasi politik sangat panas. SBY dan Gamawan dihujat. Saya yang sejak 2012 mendukung Pilkada di DPRD tetap pada sikap itu. Saya dikeroyok ramai-ramai melalui dialog yang tidak imbang di TV-TV dan medsos. Saya tunjuk bahwa melalui Penpres No. 6 Tahun 1959 Bung Karno pun tak setuju Pilkada langsung sehingga membatalkan UU No. 1 Tahun 1957.

Akhirnya keputusan tentang itu diputuskan secara dramatis melalui voting di DPR dan disetujuilah UU Pilkada dengan mekanisme melalui DPRD. Masyarakat sipil dan pers didominasi hujatan terhadap SBY sebagai perusak demokrasi yang telah dibangunnya sendiri.

Pokoknya RUU itu harus dibatalkan. Bully terhadap SBY itu bagaikan bah yang menjadi trending topic sampai ber-hari-hari. SBY yang sedang melakukan kunjungan ke Amerika megeluarkan pernyataan bahwa dirinya tdk setuju pada RUU itu dan SBY setuju dengan aspirasi masyarakat serta akan mencari jalan keluar secepatnya.

Dari Amerika Mensesneg Sudi Silalahi yang ikut kunjungan SBY bilang bahwa SBY tidak akan menandatangani RUU itu. Dari Indonesia, saya berteriak, meskipun SBY tidak menandatangani tapi setelah 30 hr RUU itu akan berlaku dengan sendirinya sesuai dengam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Sepulang dari Amerika SBY mampir ke Jepang dan bertemu dengam Yusril di sana untuk mendapat saran.

Inilah saran Yusril yang tersiar: "SBY tidak usah menandatangani RUU itu karena tidak setuju dan selanjutnya serahkan itu kepada Presiden baru agar disikapi dan diselesaikan". Saran Yusril di Jepang itu menurut saya tidak fair dan mendorong Presiden baru, Jokowi, masuk dalam jebakan betmen. Sebab ditandatangani atau tdk RUU itu akan berlaku dengan sendirinya setelah 30 hari disetujui di DPR. Saran saya waktu itu, SBY harus tandatangan secara gentleman. Saya bilang setelah ditandatangani, kalau SBY tidak setuju dengan UU itu barulah diubah melalui legislative review.

Sepulang ke Indonesia pada tanggal 30 September SBY menandatangani UU itu tetapi 2 hari kemudian, tanggal 2 Oktober dicabut sendiri dengan Perrpu. Itulah sejarahnya.

Jadi dari mana ceritanya Yusril mengatakan SBY balik arah karena statement saya? Dari mana pula datanya saya menyimpang dari tujuan reformasi yang telah menyepakati Pilkada tetap dilakukan di DPRD.

Bukankah sikap saya ada dokumen dan jejak digitalnya sejak 2012? Wadduh. Setelah banyak pimpinan parpol, MPR dan DPR, setuju ke Pilkada lewat DPRD dan saya juga berbicara tentang itu di Senayan beberapa hari yang lalu, tiba-tiba Pak Yusril ingin ambil posisi opini dengan membalik-balikan fakta dengan tudingan yang tidak berdasar. Subhanallah, lihai benar ya. Zaman now adalah zaman digital. Sulit berbohong karena direkam oleh Malaikat Roqib & Atid via jejak digital. Yang saya kultwit itu jejak digitalnya lengkap.

Oh, ya, di atas pengesahan RUU di DPR saya tulis bulan Oktober 2014, maaf, yang benar menjelang bulan Oktober, setelah Pilpres.

Demikianlah penjelasan saya. Saya tak ada urusan politik apa pun dengan Pak Yusril melainkan hanya menjelaskan fakta yang tak bisa dipungkiri karena ada dokumen dan jejak digitalnya. Penuh hormat kepada sahabat akademis saya, Prof. Yusril Ihza Mahendra. Semua penjelasan saya tentang ini boleh dikutip oleh siapapun asal tidak dikanibal. Boleh juga dicari jejak digitalnya melalui "Google" dan "Youtube" selama bulan Agustus dan September 2014. Demikian reaksi Prof. Mahfud MD.

Prof. Yusril pun memberikan jawaban atas reaksi Mahfud di cuitannya. Yusril menulisnya di akun fanpage FB dan IG, serta di @catatanyusril, Jum’at (13/4/2018). Berikut jawabannya:

Terhadap berbagai statemen Pak Mahfud MD di berbagai media bahwa jawaban saya atas pertanyaan media yang dianggap “menyesatkan” dan “tendensius”, ingin saya jelaskan duduk permasalahannya sebagai berikut: Bahwa sekitar Oktober 2014, ketika saya berada di Tokyo mengunjungi keluarga, tiba-tiba saya diundang Pak SBY untuk bertukar-pikiran mengenai RUU Pilkada di Kyoto, Jepang.

Beliau memang kebetulan sedang berada di kota itu, ketika saya ada di Tokyo. Maka berangkatlah saya dari Tokyo ke Kyoto naik kereta api Sikansen. Presiden SBY menanyakan kepada saya mengenai RUU Pilkada. Menjawab pertanyaan Presiden SBY, saya berpendapat bahwa apa yang telah dituangkan dalam RUU Pilkada dan telah disepakati antara Presiden dengan DPR agar tetap dipertahankan.

Dalam RUU yang telah disahkan itu Pilkada dilakukan oleh DPRD, tidak dipilih langsung lagi. Bahwa RUU itu jika tidak ditanda-tangani oleh Presiden SBY akan otomatis berlaku setelah 30 hari, umumnya orang faham.

Tetapi didasarkan pada masa jabatan Presiden SBY yang segera akan berakhir waktu itu, waktu 30 hari berlakunya UU tersebuy akan terjadi pada saat Presiden SBY telah habis masa jabatannya.

Saya menyarankan lebih baik Presiden SBY tidak tandatangani, dan kemudian serahkan kepada Presiden baru bagaimana akan menyikapi RUU tersebut. Presiden baru bisa saja kembalikan RUU tsb kepada DPR untuk dibahas ulang karena beliau tidak terlibat membahas RUU tersebut.

Ini adalah suatu keadaan yang tidak biasa, karena sebuah RUU selesai dibahas tapi belum ditandatangi Presiden, dalam waktu kurang dari 30 hari sebelum jabatannya brtakhir.

Kepada SBY dan beberapa menteri serta Dubes RI di Jepang yang hadir dalam pertemuan konsultasi tersebut, disepakati bahwa saya ditugasi untuk menjelaskan masalah ini kepada Pak Jokowi yang segera akan dilantik menjadi Presiden.

Saya langsung menelpon Pak Jokowi dari hotel tempat pertemuan di Kyoto tetapi tidak dijawab. Ketika saya tiba di stasiun KA akan kembali ke Tokyo, Pak Jokowi menelpon balik ke saya.

Dalam percakapan telepon itu saya jelaskan kepada Pak Jokowo hasil pertemuan tadi dan beliau faham. Saya katakan kepada Pak Jokowi bahwa saya akan membantu menjelaskan permasalahan ini ke publik.

Saya terus mengamati permasalahan ini dari Tokyo. SBY kembali ke Jakarta dan saya membaca berita dari Jakarta bahwa Pak Mahfud mengatakan bahwa usul saya di Tokyo itu sebagai “jebakan batman”.

Antara saya dengan Pak Mahfud memang tidak ada komunikasi apa-apa sebelumnya, sehingga saya tidak berkesempatan untuk menjelaskan pembicaraan kami di Kyoto.

Setelah itu saya amati dari Jepang, Presiden SBY tidak melaksanakan apa yang kami bahas di Kyoto, tetapi kemudian mengeluarkan Perpu. Dalam Perpu itu, Pilkada kembali dilakukan secara langsung.

Kepada wartawan yang menanyakan masalah adanya keinginan agar Pilkada kembali lagi ke DPR, saya kisahkan kembali peristiwa di atas.

Saya samasekali tidak menyinggung bagaimana pendirian Pak Mahfud mengenai Pilkada ini, apa beliau setuju pilkada langsung atau cukup melalui DPRD.

Mungkin ada yang mengembangkannya ke arah seolah-olah saya “menuduh” bahwa Pak Mahfud adalah pendukung Pilkada langsung. Akibatnya muncullah reaksi Pak Mahfud bahwa ucapan saya “tendensius”, “menyesatkan” dan sejenisnya.

Mudah-mudahan dengan penjelasan ini, masalahnya menjadi terang. Saya mohon maaf kalau berbagai penulisan di media kemudian menimbulkan kesalah-fahaman reaksi sedemikian rupa khususnya dari Pak Mahfud. Demikian jawaban Prof Yusril.

Diketahui memang saat ini Pilkada masih dilaksanakan secara langsung seperti Pilpres. Di 2018 ini saja, sekiranya ada ratusan lebih Pilkada serentak yang mesti dilaksanakan. (Robi/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version