JAKARTA (voa-islam.com)- Menurut data resmi, misalnya, dalam 10 terakhir tercatat kenaikan produksi gabah 2-4 juta ton pertahun, kecuali tahun 2014 yang turun 500 ribu ton, dan 2017 yang turun 1,1 juta ton. Jika disandingkan dengan data konsumsi beras perkapita, Indonesia setiap tahun mengalami surplus beras rata-rata 8 juta ton pertahun sejak 2008.
“Namun, meski di atas kertas produksi beras kita surplus hingga rata-rata 8 juta ton pertahun, data juga menunjukkan jika Indonesia terus-menerus mengimpor beras tiap tahun. Rata-rata setiap tahunnya kita mengimpor 421 ribu ton beras. Impor beras tertinggi terjadi pada 2011, yang mencapai 2,75 juta ton,” demikian kata Fadli Zon, Jum’at (27/4/2018), di akun Twitter pribadi miliknya.
Padahal, menurut Fadli, di saat yang sama produksi beras nasional waktu itu tengah mengalami surplus 7,99 juta ton. Paling parah lagi terjadi pada 2016.
“Saat itu data produksi beras diklaim mengalami surplus tertinggi selama 10 tahun terakhir, yaitu sekitar 14,59 juta ton. Tapi, pada saat yang bersamaan pemerintah mengimpor beras 1,2 juta ton.”
Artinya, semua data itu kan hanya dagelan saja. Itu sebabnya untuk memperbaiki data demi agenda kedaulatan pangan, HKTI mengusulkan perlu diadakan kebijakan semacam pengampunan data, atau “data amnesty”. “Ini mirip kebijakan amnesti pajak sebenarnya. Karena penggunaan data berimplikasi hukum tertentu, sebab akan menjadi dasar bagi kebijakan publik, maka kebijakan amnesti data ini perlu diatur dalam sebuah undang-undang.” (Robi/voa-islam.com)