JAKARTA (voa-islam.com)- Selain keterangan ahli saling bertentangan, juga adanya anggapan keterangan ahli masih memiliki hubungan pekerjaan dengan pemerintah, alasan lain mengapa putusan PTUN ditolak oleh kuasa hukum adalah karena bukti-bukti yang disajikan hanya dari buku-buku. “Begitu juga misalkan penggunaan alat bukti surat.
Yang dipakai itu buku-buku. Buku-buku terjemahan. Kami berkali-kali mengatakan, yang namanya buku, ya buku. Training HMI misalnya merujuk pada bukunya Cokroaminoto atau buku M. Natsir, ya, itu kan buku saja.
Makanya berkali-kali sidang kami bertanya: ini yang diadili ini apa? Mengadili surat keputusan Menkum HAM atau kalian ini ingin mengadili buku?” ujar Yusril Ihza Mahenda, belum lama ini, di Jakarta.
Menurut Yusril, apa yang dijadikan alat bukti berupa buku itu adalah keanehan. “Penulis buku ini sudah almarhum (terkait HTI). Sudah meninggal.
Orangnya tidak pernah datang ke Indonesia. Itu namanya buku rujukan. Nanti kalau saya misalkan melakukan gerakan, gerakan jihad fi sabilillah lalu merujuk pada Alqur’an, lalu apa harus tuhan diadili di pengadilan, karena ini tuhan yang menurunkan dan tuhan yang membuatnya? Kan jadi aneh,” ia menambahkan.
Sehingga ia nampak menyimpulkan bahwa keputusan PTUN tersebut sarat keanehan. “Atau orang ditangkap dan diadili: kenapa kami begini? Dia menggunakan kitab-kitab hadits, lalu apa Rasulullah harus diadili?
Rasulullah sudah wafat menginggalkan kita ini. Jadi saya melihat agak aneh proses pengadilan TUN kali ini. Dan hasilnya, ya seperti itu,” ia menutupnya. (Robi/voa-islam.com)