JAKARTA (voa-islam.com)- Kontroversi Alquran sebagai barang bukti tindak kejahatan terorisme harus dibahas secara serius. Sebelumnya, diberitakan Polri menerima petisi dari masyarakat yang meminta Polri untuk tak lagi menjadikan Alquran sebagai barang bukti kejahatan, terutama terorisme.
“Saya meminta Polri untuk memberikan keterangan secara jelas dalam merespon petisi tersebut. Serta mengevaluasi, jika ternyata di lapangan aparatnya kerap menyita Alquran sebagai barang bukti.
Saya juga menilai, menyita Alquran untuk kepentingan penyidikan, merupakan tindakan yang tak pantas dan tak bisa dibenarkan. Di lapangan, Polri kerap menyita Alquran sebagai barang bukti. Kalau kita lihat pada dokumen Putusan MA kasus terpidana Masykur Rahmat bin Mahmud di Aceh, misalnya, di situ Al Quran dijadikan sebagai barang bukti yang disita,” demikian pernyataan Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI, Ahad (20/5/2018), di akuj Twitter pribadi miliknya.
Jadi, menurut Fasli petisi masyarakat tersebut ada dasarnya. Sehingga, Polri harus merespon petisi masyarakat tersebut dengan serius. “Bahkan Polri harus menjelaskan kenapa Alquran kerap disita dan dijadikan barang bukti oleh aparatnya.”
Kalau kita, Fadli menuturkan lihat Pasal 39 KUHAP, disebutkan tentang kriteria barang tang dapat disita. Di antaranya adalah benda yang diperoleh, digunakan secara langsung, atau benda yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
“Sebagai kitab suci, Alquran tak bisa dijadikan barang bukti yang disita. Jika penyidik menyita Alquran sebagai barang bukti, sama saja penyidik ingin mengatakan ada hubungan antara Alquran dan tindak pidana terorisme.”
Menurut Fadli itu logika yang keliru dan sangat melecehkan. Penyidik harus sensitif. “Sebab jika tidak, tindakan tersebut justru bisa memicu radikalisme yg lain.”
Sebagaimana kitab suci agama lain, tak ada hubungan antara Alquran dan tindakan radikal. Justru sebaliknya, Alquran sebagai kitab suci menjadi sumber kebaikan dan kedamaian.
Menurut Fadli, akar dari radikalisme, lebih dipicu oleh konteks sosial. Di mana terdapat individu atau kelompok, yang memiliki keyakinan kuat bahwa mereka adalah korban dari ketidakadilan.
Situasi ini yang memungkinkan sejumlah individu memiliki pandangan sempit terhadap teks-teks yang dibacanya. “Belum lagi adanya kemungkinan tindak pidana terorisme itu bagian dari plot dan rekayasa untuk tujuan tertentu. Kontroversi ini harus dijawab secara tegas dan terang oleh Polri. Saya menyayangkan statemen Polri yang berbeda-beda merespon petisi tersebut.”
Sebelumnya dari media kita baca, Kadiv Humas Polri menyatakan menerima petisi ini sebagai masukan dan bahan evaluasi. “Namun di lain kesempatan, Kapolri menyatakan itu hoaks. @DivHumas_Polri
Menurut saya, Polri harus memberikan keterangan yang jelas dan apa adanya. Jangan beda-beda penyikapannya.
Jika ditemukan kekeliruan, tinggal diakui dan evaluasi ke depannya.” (Robi/voa-islam.com)