View Full Version
Kamis, 30 Aug 2018

Teori dan Dampak terkait Tagar 2019 Ganti Presiden

JAKARTA (voa-islam.com)- Gerakan 2019 ganti Presiden menjadi “korban” dari teori public relation abad ini, di mana awalnya tidak ada, dan semakin dicegah, dilarang, ataupun dihadang malah semakin membesar.

Di dalam teori muktahir tentang public relation, sesuatu yang tidak ada justru ada setelah dilarang. Itu soalnya. Jadi, hastag itu akan semakin ada setelah negara membuat larangan,” demikian kata pengamat politik Rocky Gerung, Rabu (29/8/2018), di bilangan Jakara.

Misalnya, lanjutnya, di kasus penghadangan Riau kemarin. “Apa terjadi deklarasi? Terjadi, gak? Tidak terjadi, kan? Karena dihalau. Tidak terjadi di Riau tapi terjadi di WA pagi hari oleh ibu-ibu. Karena dilarang dianggap deklarasi, tuh,” katanya lagi.

Bagi Rocky, tagar itu sebetulnya hanya hantu saja, tetapi hantu baik yang mengajarkan kita tentang perbedaan. “Tapi malah sebaliknya, dianggap sebagai hantu yang buruk,” sambungnya.

Selain itu, soal adanya spanduk Jokowi yanh besar dan berada di jalan bebas hambatan, ia juga memberikan komentar. “Tadi juga saya terangkan soal spanduk Jokowi. Itu besar banget ada di jalan tol. Lalu orang tanya dan saya jawab bahwa seharusnya di dalam politik ide, otak itu harus lebih lebar daripada spanduk. Itu supaya orang berpikir: Ngapain mempersoalkan hal yang gak ada urusannya dengan masa depan bangsa,” jelasnya.

Ia mengaku menjawab demikian karena agar jangan sampai bangsa ini seperti dihukum oleh kehadiran tagar 2019 ganti Presiden. “Jadi kita disiksa oleh perdebatan yang tak ada substansi. Biarkan saja perdebatan itu. Kan demokrasi hidup dari perdebatan. Apalagi kemudian intelijen masuk dan ikut-ikutan,” ia melanjutkan.

Lain soal, misalkan juga terkait tudingan adanya upaya makar atas tagar tersebut. “Istilah makar itu istilah yang tidak dikenal oleh mileneal. Diketawai mileneal itu. Apa itu makar?l “ Menurut dia, makar itu dibuat tahun 30 oleh pemerintah Belanda dalam KUHP kita untuk mempertahankan kekuasaan maka itu disebut makar. Istilah itu menurut dia sudah salah. “Jadi, apa hubungannya orang pakai hastag dengan situasi istana? Pernyataan Ali Ngabalin yang sebut makar itu bukan kurang tepat, tapi malah ngaco,” katanya lagi. (Robi/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version