JAKARTA (voa-islam.com)- Di bulan September ini, ada sebuah peristiwa yang betul-betul tidak dapat dilupakan oleh dunia internasional, tak terkecuali oleh Indonesia sendiri. Peristiwa itu membuat dunia terbelalak, khususnya umat Islam. Umat Islam seperti dijadikan target atas adanya peristiwa mengerikan bagi dunia itu. Keamanan yang terbilang super ketat tapi mampu dibobol oleh “teroris”, demikian kesimpulan pemimpin dunia ketika itu. Adalah peristiwa runtuhnya gedung kembar World Trade Center (WTC) Amerika.
Dunia yang ketika itu relatif tenang, tiba-tiba, tak bisa dipungkiri kemudian akhirnya memanas. Saling curiga antar umat terjadi. Sentimen anti Islam meluas, dan dampak miris lainnya. Akhirnya slogan-slogan rasa menyudutkan ke Islam pun juga tak dapat dihindarkan. Dan siapa yang tahu jika peristiwa itu melahirkan penjajahan gaya baru di dunia ini?
Dengan cara apa penjajahan belakangan ini dikembangkan? Yakni lewat slogan, yang dari tahun 2001, sekitar 17 tahun lalu, itu dikenal dengan nama war on terorism. Jadi ketika ditabraknya WTC tahun 2001 itu, tanggal 11 bulan 9 itu, di situlah diperkenalkan satu panggung baru: war on terorism,” demikian kata ustaz Felix Siauw, belum lama ini di Jakarta.
Sehingga menurut dia, penjajahan (yang ada sekarang) itu dilegitimasi atas nama war on terorism. “Maksud dilegitimasi itu seperti, apa pun yang Anda lakukan, dianggap lebih sedikit bersalah daripada lebih dari itu. Inilah yang dinamakan legitimasi. War on terorism ini menjadi legitimasi penjajahan hampir di seluruh dunia dari tahun 2001-2008,” jelasnya.
Tahun 2008, dari war on terorism tapi kemudian menjadi war on radicalism. Jadi sejak zamannya Barack Obama, menurut dia partai Demokrat yang ada di AS pergantian itu telah terjadi. Hal demikian dilakukan untuk meluaskan kontrol mereka. “Kalau di awal, tempat-tempat yang bisa mereka kontrol adalah tempat-tempat yang mereka sudah bidik, yang di situ ada seolah-olah ada kekacauan fisik maka ketika kekacauan fisik itu terjadi baru bisa masuk yang namanya war on terorism,” tambahnya.
Tapi ketika bicara war on radicalism, yang disebut Obama berkali-kali itu maka mereka mulai masuk bukan dalam ranah fisik saja, tapi juga masuk ke ranah pemikiran. “Kalau dipahami baik, kondisi sekarang ini, seperti apa dan bagaimana keluar dari kondisi tesebut.
Nah, jadi war on radicalism ini masuk ke dalam ramah pemikiran, maka pemikiran bisa dihubungi, pemikiran bisa dikasih benar atau salah, gara-gara berpikit orang bisa dilarang, gara-gara berpikir orang bisa dihukum, gara-gara berpikir orang bisa dikerangkeng, dan seterusnya.
Inilah yang dibawa ke Indonesia pada tahun 2012,” katanya lagi. (Robi/voa-islam.com)