JAKARTA (voa-islam.com)- Ustaz Felix Siauw mengaku merasakan bahwa keadaan atau kondisi sekarang ini hampir mirip seperti tahun 1956-1959 silam. Bahkan keadaan seperti ini ia akui dan rasakan dimainkan oleh pemain-pemain yang sama.
Saya ingin menyampaikan, lihatlah sejarah. Dan saya merasakan ini seperti kembali ke sejarah 56-59. Ini persis. Bahkan pemain-pemainnya hampir sama,” akunya, belum lama ini di Jakarta.
Bisa terjadi seperti itu, misalkan ia coba menganalogikan pembubaran HTI dengan pembubaran partai Masyumi. “Dulu ketika tahun 1955, Pemilu yang menang Masyumi. Ketika yang menang itu ada Masyumi, di situ juga ada PKI. Di situ ada PNI. Dari dulu ke dulu Indonesia dikenal dengan pemisahan-pemisahan seperti ini. Tengah, kiri, kanan. Kiri, sosialis. Tengah adalah nasionalis. Kemudian kanan adalah partai yang melambangkan Islam.
Kemudian terjadi kisruh dan seterusnya. Tahun 56-59 ada perjuangan dari hasil kesadaran kaum muslimin yang sangat luar biasa, itu adalah Sidang Konstituante. Di sidang itu kemudian dibentur-benturkan antara Islam dan Pancasila. Antara Islam dengan Negara. Antara Islam dengan nasioanalisme. Dan seterusnya.
“Itu dibentur-benturkan terus. Seolah-olah yang ingin disampaikan di situ, ‘Kalau Anda ingin Indonesia, Anda tidak boleh Islam. Kalau Anda ingin Islam, Anda tidak boleh bicara Indonesia’. Seolah-olah dibenturkan seperti ini,” ia menjelaskan.
Tahun 56-59 akhirnya muncul Dekrit Presiden dan kemudian muncul di situ ujung-ujungnya Masyumi dibubarkan.
Kekuatan pembubarannya menurut dia dengan dimunculkannya Nasakom (nasionalis, agama, komunis). Mereka meyakini bisa menyatukan itu dalam satu tempat.
“Kita sudah tahu, bahwa kiri itu diwakili oleh PKI. Tengah diwakili PNI. Dan grup kanan pada waktu itu diwakili, ini ada dalam sejarah, sekali lagi sejarah yang tidak bisa disalahkan, diwakili oleh NU. Jadi, kalau Anda lihat sejarah, itu episode-episodenya sudah mulai tertata dengan baik,” ia kembali menjelaskan.
Dibubarkannya tokoh-tokoh Masyumi, menurut dia Masyumi itu dibuat HTI seperti sekarang ini. Persis sama. “Jadi, orang tuh gak boleh bilang Masyumi. Orang gak boleh ini anak dari tokoh Masyumi. Bahkan yang pernah terjadi di Sumatra Barat, kita baca sejarah, orang sampai mengganti namanya dengan nama-nama berbau Jawa agar tidak ditangkap yang namanya Pamswakarsa, atau disebut Angkatan ke-V karena mereka ingin menghindari simbolisasi radikalisme itu, yang dulu ada pada Masyumi, yang dulu ada pada PRRI, dan Permesta,” ia menambahkan.
Ia mengaku pernah memilik teman orang Minang dengan nama John Kennedy, tapi panggilannya Ned. Ada misalkan nama orang Padang namanya Tukimin. “Padahal orang Padang dulu terkenal dengan nama Samsul, Zainuddin (Tenggalamnya Kapal Van Der Witjk), dan lainnya.
Ini terjadi dan bisa kita lihat sekarang-sekarang ini, di mana 59, kemudian 60 Masyumi dibubarkan, ditangkapi orang-orangnya, Buya Hamka masuk penjara, Moh. Natsir masuk penjara,” katanya lagi.
Ulama-ulama yang memagang Islam dan dirasa berbahaya bagi kepentingan penjajahan itu semuanya dimasukkin.
Tahun 65 PKI melakukan pemberontakan, yang NU dibunuhi, yang PNI juga dibunuhi. “Ini adalah sejarah yang harus kita pahami sekarang. Kita tidak berharap sejarang berulang, tapi gaya-gayanya sudah mulai mirip. HTI sudah muncul sebagai simbol radikalisme,” ia rasakan.
Siapa pun, lanjutnya, tokoh yang terkait dengan HTI, akan terjadi sebuah kartu mati. “Gusnur belain orang HTI, dapat. 2019 ganti presiden ditunggangi, HTI. Anak-anak bawa bendera laa ila hailallah ditunggangi, HTI. Pakai topi laa ila hailallah ditunggangi, HTI. Semuanya diantar seperti itu. Dan ini lucu,” bebernya.
Lebih lucu lagi, katanya, ada video yanh beredar dengan menyebut bahwa HTI sama dengan PKI. “Padahal dulu orang yang sama bilang bahwa PKI itu tidak ada, ketika isu PKI itu ke mereka. Tapi kemudian HTI ingin dikriminalisasi langsung disamakan dengan PKI,” ia merasakannya.
Baca sejarah, lanjutnya lagi, bahwa menurut dia PKI itu partai pemerintah. “Jika kalau kita lihat episode-episodenya sudah sama. HTI dan Masyumi sama-sama dikriminalisasi. Ulama-ulama ditangkapi.
Kalau Masyumi jadi HTI, kalau NU siapa, saya tidak tahu, saya tidak seberani Gusnur,” masih menurut dia.
Oleh sebab itu itu ia menyebuy ini ancaman yang nyata, yang terjadi saat ini di depan mata. Apa yang sebenarnya terjadi menurutnya sekarang cuma masalah syahwat kekuasaan penjajahan.
“Artinya mereka benar-benar panik karena apa yang terjadi 411 dan 212 itu di luar hitungan mereka sehingga mereka membuat langkah-langkah yang panik, yang di luar logika mereka sendiri,” kembali tambahnya. Dan baginya, itu tidaklah masalah. Dakwah tetap jalan.
“Mau Firaun yang jadi Presiden, maupun sekelas nabi Sulaiman yang menjadi presiden, dakwah tetap jalan dan kita tidak ada masalah. Tidak ada yang bisa menghentikam dakwah ini karena disuruh siapa pun, karena ini disuruh langsunh oleh Allah subhana wa ta’ala. Jadi kita tidak akan berhenti,” katanya. (Robi/voa-islam.com)