JAKARTA (voa-islam.com)- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional berpesan agar Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tidak mengeluarkan argumen ngawur soal industri sawit dijadikan stimulus menstabilkan nilai tukar Rupiah. Walhi malah menganggap bahwa partai baru ini seperti membawa agenda kolonial atas argumentasinya.
Berikut respon Walhi atas argumentasi PSI yang dituangkan ke dalam akun Twitter resmi miliknya, @walhinasional, Senin (17/9/2018):
Pagi Sahabat WALHI di seantero Negeri. bentar lagi kita mau kasi pandangan nih terkait bredarnya VIDEO #GagalPaham yang dibuat Sis-Bro Partai Solidaritas Indonesia @psi_id tentang dukunganya pada Industri Sawi yang diargumentasikan untuk stabilkan Rupiah. Duh, Partai Milenial kok agenda kolonial.
WALHI organisasi lingkungan hidup yang selama berpuluh tahun telah melakukan advokasi atas fakta buruk perkebunan sawit di Indonesia yang berdampak buruk bagi lingkungan hidup dan keselamatan rakyat. Perlu sampaikan kritik & pandangan, agar tidak terjadi pengaburan fakta pada publik, khususnya kaum muda, atas fakta buram perkebunan sawit di Indonesia dan berbagai negara lain di dunia.
Dalam video Gadget Murah Karena Sawit maupun dalam klarifikasi penjelasan yang disampaikan oleh PSI, kami menilai bahwa Sis Bro pengurus PSI gagal paham terhadap persoalan mendasar sawit di Indonesia dan bahkan dalam konteks global, dan semakin nggak nyambung jika dihubungkan dengan tujuan video ini, agar rupiah stabil. Pernyataan ini ingin menegaskan bahwa sawit sebagai penopang ekonomi bangsa Indonesia adalah sebuah mitos, termasuk adanya sawit putih.
Bagi kami, tidak ada sawit “putih” atau berkelanjutan, karena karakter komoditas ini adalah monokultur dan sudah dipastikan menghancurkan hutan. Pernyataan Partai Solidaritas Indonesia terkait sumbangsih ekonomi korporasi sawit, didasarkan pada argumentasi yang parsial dan sempit.
Kami memberikan beberapa catatan atau kritik penting terhadap kampanye sawit dalam video singkat tersebut dan penjelasan atau klarifikasi dari PSI, antara lain sebagai berikut:
Dari Sisi Ekonomi
(1) Klaim bahwa sektor kelapa sawit memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional (dengan nilai ekspor mencapai 15 persen dari total ekspor Indonesia- BPS 2017). Tetapi, menggunakan angka tersebut sebagai dasar tunggal kebijakan sangatlah tidak tepat dan klaim devisa juga tidak tepat karena sebagian besar devisa hasil ekspor justru disimpan di negara suaka pajak (tax haven countries).
Sementara perkebunan kelapa sawit juga berdampak negatif besar pada hak-hak dasar dan kelangsungan hidup rakyat.
(2) Dari sisi penerimaan pajak justru menunjukkan fakta sebaliknya. Pada tahun 2015, tercatat tingkat kepatuhan perusahaan hanya 46,34 persen. Negara kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar 18 triliun rupiah setiap tahunnya dari ketidakpatuhan tersebut. (laporan KPK-2016 Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit)
Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pemberitaan berbagai Media pada periode maret 2018, bahkan KPK menyampaikan menemukan sekitar 63.000 Wajib Pajak. Di sektor industri sawit bermasalah, terkait dengan dugaan penghindaran setoran pajak dan pemungutan yang tak optimal dari Direktorat Jenderal Pajak.
(3) @KPK_RI telah nyatakan bhwa krugian atau biaya lingkungan hidup yang diakibatkan oleh industri ekstraktif adlh kerugian negara. Pernyataan KPK ini tunjukkan sebuah kesadaran bahwa selama ini memang biaya lingkungan hidup akibat praktik buruk korporasi dibebankan pada negara dan rakyat. Kerugian negara dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahu 2015 yang mencapai 200 triliun menunjukkan bahwa investasi berbasis lahan seperti sawit, justru merugikan keuangan negara.
Terlebih kita tahu, kuatnya dugaan korupsi di sektor perkebunan sawit. Itu mengapa KPK membentuk korsup sawit, selain korsup minerba. Usulan @psi_id untuk menghapus pungutan sawit juga keliru. Ini membuat pengusaha sawit diuntungkan dua kali, dari nilai kurs yang meningkat dan pembebasan dari kewajiban membayar pungutan sawit.
Dampak Lingkungan Hidup
(1) masih segar ingatan kita pada Agustus 2018 lalu, saat kebakaram hutan meningkat kembali, khususnya pada wilayah Sumatera dan kalimantan, bahkan Kalimantan Barat, pada Kota Pontianak sampai meliburkan semua anak sekolah karena dampak asap yang semakin tinggi.
Faktanya di Kalimantan barat sebagai wilayah titik api tertinggi hingga Agustus 2018 terdapat 102 titik api di konsesi perkebunan kelapa sawit, (Laporan WALHI Kalimantan barat berSumber: Hotspot NASA (firms.modaps.eosdis.nasa.gov)
(2) Dari data pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunanan/Pertanian melalui mekanisme permohonan langsung badan Usaha, hingga tahun 2016 KLHK telah mencapai 6.772.633 Hektar terhadap 702 Perusahaan Perkebunan didominasi oleh sawit.
(3) Celah kebijakan dalam banyak laporan eksekutif daerah WALHI juga banyak menemukan Kelompok Pengusaha Kelapa Sawit yang beroperasi dalam kawasan hutan, dengan memanfaatkan celah pada kebijakan TORA.
Kebijakan TORA dari kawasan hutan masih mengatasnamakan rakyat untuk melindungi kepentingan perkebunan kelapa sawit.
Tercatat hingga saat ini 859 korporasi perusahaan sawit beroperasi dalam kawasan hutan. Faktanya, justru banyak kebijakan yang menyediakan ruang bagi korporasi, belum termasuk berbagai keistimewaan yang sedang disusun dalam RUU Perkelapasawitan.
(4) Jika @psi_id mengatakan bahwa ini hanya kebijakan sementara, kami mempertanyakan apa yang dmaksud dengan kebijakan sementara? Jika kampanyenya justru melanggengkan praktik pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan. Pada akhirnya, @psi_id mengabaikan fakta kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang telah dilakukan oleh perkebunan sawit seabad lamanya. Ada luka yang tidak pernah disembuhkan dari praktik perampasan tanah, pelanggaran ham, pencemaran lingkungan.
Sebagai partai politik baru, harusnya @psi_id ini muncul dengan gagasan baru yang membawa harapan bagi keselamatan masa depan bumi dan kemanusiaan yang lebih baik, demi generasi yang akan datang. Bukan justru menggadang-gadang model ekonomi yang usang dan rapuh seperti sawit. terlebih dengan pendekatan yang tidak kalah jadulnya, yakni sumber daya alam untuk ekspor sebesar-besarnya, sementara untuk kebutuhan dalam negeri justru impor. Yang seharusnya didorong dan disuarakan adalah kebijakan korektif untuk membenahi tata kelola sumber daya alam kita.
Namun pembenahan tata kelola mustahil terjadi jika tidak diawali dengan moratorium sawit, yang sekarang draft kebijakannya sudah ada di meja Presiden. @psi_id. Moratorium sawit pun harus dibarengi dengan audit lingkungan, review perizinan dan bahkan pencabutan izin bagi perusahaan-perusahaan sawit yang melanggar hukum dan perundang-undangan.
Please jangan sesatkan pikiran Milenial dengan argumentasi ngawur ini @psi_id.
*Walhi Nasional