View Full Version
Senin, 22 Oct 2018

Ahmad Dhani dan Orde Pembohong

JAKARTA (voa-islam.com)- Hanya karena menyebut "dungu" kepada massa yang merampas hak konstitusionalnya atas kebebasan berpendapat dan bepergian di wilayah tanah airnya sendiri? (ketika mengomentari salah satu judul berita di media: “Polisi Minta Imigrasi Cekal Ahmad Dhani”)

Violence by Omission artinya negara tidak bertindak, justru membiarkan, kejadian hak asasi seorang warga negara dihalangi atau dirampas. Setelah itu negara justru memidana warga yang pemenuhan hak asasinya dihalangi berarti negara melakukan pelanggaran HAM secara berlipat.

Dalam kasus pemidanaan Ahmad Dhani, saya yakin Polisi tahu UU HAM 1999 menjamin dan melindungi hak warga negara Indonesia menggunakan forum internasional atas pelanggaran hak asasi manusia yang dialaminya. Mungkin karena itu Dhani buru-buru dicekal?

Memaksa orang lain melakukan apa yang tak diinginkannya, apalagi dengan ancaman kekerasan, tak bisa digolongkan pada hak asasi apa pun. Perbuatan itu, contohnya melarang Ahmad Dhani bicara di kota yang dikujunginya, justru dengan mudah bisa digolongkan sebagai kejahatan. Sebaliknya, sepanjang tak menghasut untuk mendiskriminasi orang lain dengan paksaan atau kekerasan, sekasar apapun ucapan orang—misalnya menyamakan Pak SBY dengan Kerbau—tak bisa digolongkan hate speech atau ujaran kebencian.

Suka atau tidak, itu masih freedom of speech. Ujaran kebencian (hate speech) bukan tentang saya memaki Anda "Idiot". Bila sedangkal dan sekacau itu definisinya, Polisi harus menangkap setengah Urang Bandung. Coba dengar bahasa pergaulan remajanya. "Kehed siah!". "Anjing, kamana wae maneh?" "Mengkol ka katuhu, Goblog!" 

Ujaran kebencian juga tak berlaku pada orang yang terang-terangan menyampaikan pendapat bahwa Presiden berbohong, pembohong, atau pemerintahan ini adalah OrBo: Orde Bohong. Sekali lagi, sepanjang tak menghasut untuk mendiskriminasi dengan kekerasan, itu masih freedom of speech. Apakah saya membela Ahmad Dhani? Iya. Tapi itu bonus untuknya.

Saya membela hak sipil dan politik saya sendiri. Sebab bila kekacauan dan kesewenangan ini dibiarkan jadi preseden hukum, maka apa yang dialami Ahmad Dhani juga bisa menimpa saya—juga Anda, setiap warga negara. Bukankah hak dan kebebasan saya dibatasi hak dan kebebasan orang lain? Salah. Dengan dalih itu, kita akan terperangkap pada keadaan saling membatalkan hak dan ketiadaan kebebasan. 

Yang benar: hak dan kebebasan Anda harus dipenuhi karena hak dan kebebasan orang lain dipenuhi. Pembatasan hak asasi, seperti dinyatakan dalam hukum internasional HAM, sebenarnya adalah definisi kewenangan negara untuk mengambil tindakan di saat yang perlu untuk membatasi hak asasi manusia yang dapat ditunda pemenuhannya semata demi merawat tata masyarakat demokratik. Contoh hak boleh dibatasi?

Hak bepergian ke dan di wilayah negaranya sendiri. Orang boleh dilarang karena tempat yang ditujunya sedang dilanda gunung meletus, misalnya. Tapi bukan mengusir warga yang datang ke sebuah kota karena ada orang lain berbeda pendapat politik dengannya. Hak yang selamanya tak boleh dibatasi? Itu disebut "Non-Derogable Right". Hak untuk hidup, untuk tak disiksa, untuk tak diperbudak atau kerja-paksa. Ada juga hak untuk tak dipidana dalam utang piutang. Tapi ini, beda dengan tiga pertama, tak punya status "universal jurisdiction".

Semua hak asasi manusia internasional dalam Piagam PBB dan traktatnya kini sudah jadi bagian dari hukum nasional kita melalui ratifikasi. Bahkan, sudah jadi hak konstitusional setiap warga Indonesia sejak amandemen UUD 45. Presiden adalah pihak pertama yang harus ingat dan tunduk.

Rangkaian twit tadi dipicu pemidanaan Ahmad Dhani. Anda boleh tak senang padanya. Tapi menentang kriminalisasi atas hak konstitusional warga, seperti yang dialami Dhani, adalah urusan saya, Anda dan kita semua—-sesama warga negara yang tak mau hal sama suatu saat menimpa kita.

*Politisi Demokrat, Rachland Nashidik


latestnews

View Full Version