JAKARTA (voa-islam.com)- Keinginan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menetapkan orang gila mempunyai hak suara di Pemilu dianggap aneh oleh salah satu Direktur lembaga survei. Pasalnya, menurut dia, apa yang diingini oleh KPU tersebut dinilai multi interpretasi.
“Sebenarnya wajar orang menjadi ribut. Itu karena kekhawatiran akan banyak membawa orang, yang mohon maaf akan memilih siapa. Mereka saja tidak mampu bertanggungjawab pada diri sendiri. Kekhawatiran orang kan sebenarnya begitu,” kata Rico Marbun dari Median, Selasa (27/11/2018), di Jakarta.
Harusnya, kata dia, KPU mengeluarkan peraturan yang lebih detil. “Misalkan kategori gangguan jiwa itu seperti apa? Karena kalau orang gangguan jiwa, rasa-rasanya, untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadinya yang primer, itu kesulitan, apalagi harus memilih,” tambahnya saran.
Belum lagi, lanjut dia, jika ada dugaan bahwa orang gila ada yang menggerakkan.
Pertanyaannya, yang menggerakkan orang (gila) ini siapa? Apa iya dalam gangguan seperti itu mereka mau datang ke TPS untuk memilih? Ini kan jadi pertanyaan. Nanti orang jadi punya syak wasangka: ini dimanfaatkan oleh siapa? Harusnya di-clear-kan dulu,” katanya lagi.
Tak mengapa jika pada akhirnya direvisi lagi dengan syarat dibuat lebih detil: yang dimaksud dengan orang gila itu siapa. Jangan terlalu umum seperti ini. Kalau terlalu umum seperti ini akan mengalami kesulitan di lapangan.
“Terkait perolehan suara, ini akan menjadi pintu “manipulasi”. Jadi pertanyaannya kan: Apa iya dalam gangguan jiwa berat dia (orang gila) memilih? Bagaimana kalau gangguan jiwanya ringan? Nah, ini kan harus dibicarakan lebih detil,” tambahnya dengan penasaran.
Jumlahnya saja, masih menurut dia, (orang gila) kita tidak tahu ada berapa. “Dan itu bagaimana kita mengidentifikasi hal tersebut dalam DPT yang belum clear. Harus di-clear-kan dulu. Tidak perlu terburu-buru agar tidak menjadi tudingan,” tutupnya.
(Robi/voa-islam.com)