JAKARTA (voa-islam.com)- Di masyarakat awan, perlu diakui bahwa belum terlalu dipahami bahwa antara ketimpangan ekonomi dan Negara Punah ada hubungannya. “Itulah sebabnya pidato @prabowo bukan membawa kajian yang serius malah dicibir. Termasuk dari yang rada bisa mikir. Kecuali kalau semua sudah #GakMikir. #NegaraBisaPunah,” demikian cuitan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah.
Narasi yang dibawa Prabowo menurutnya tentang kesenjangan dan kepunahan negara itu narasi global. Sudah disuarakan intelektual kelas dunia. Setidaknya ada 3 buku penting yang ditulis oleh para pakar pembangunan tentang betapa pentingnya dan relevannya isu itu.
“1. Capital in the 21st Century (Thomas Piketty), 2. The Price of Inequality (Joseph E. Stiglitz), 3. Why Nation fail (Daron Acemoglu dan James Robinson).” Ketiga buku ini mengulas ia amati secara teoris dan empiris kesenjangan sampai pada gagalnya sebuah negara.
“Saya sendiri menulis buku untuk melacak akar kemiskinan di rakyat kita dan mengapa kita bisa disebut belum sejahtera. Studi saya dibantu beberapa staf di kordinator Kesra Pimpinan @DPR_RI tidak saya mencoba melakukan kritik teori tapi juga evaluasi statistik. #NegaraBisaPunah.”
Dia memang belum membuat kajian tentang kerawanan yang dapat mengancam ke arah kepunahan negara. Tapi dia mengaku telah mulai menemukan akar ketimpangan yang cukup mengkhawatirkan.
“Memang bangsa kita punya Daya tahan. Tapi waktu bisa punya kehendak lain. #NegaraBisaPunah.”
Demikiankah waktu dan sejarah mengajarkan kita, katanya, imperium, kerajaan dan negara datang silih berganti, bangkit dan tumbang oleh waktu. Salah satu sebabnya, seperti yang digambarkan oleh sebagian dari tiga penulis di atas adalah soal ketimpangan ekonomi yang menganga.
“Thomas Piketty adalah ekonom Prancis yang banyak sekali melakukan studi tentang ketimpangan ekonomi. Sala satu penyebab ketimpangan katanya; hampir di semua negara tingkat pengembalian modal selalu tumbuh lebih cepat 5 sampai 7 kali lipat dari pertumbuhan ekonominya.”
Jadi, faktor modal ia lihat jauh lebih diuntungkan dari pada faktor produksi lain seperti tenaga kerja atau upah buruh. Apa lagi di Indonesia, lanjutnya, upah buruh per tahun dipatok dan harus mengikuti besaran angka pertumbuhan ekonomi, tidak boleh lebih.
Sedangkan keuntungan pemodal bisa naik 5-7 kali lipat dlm tahun yg sama. Makanya Indonesia banyak memiliki konglomerat yang masuk orang-orang terkaya dunia dan mereka menjadi elit ekonomi yang membangun kekuatan dan kendali dengan dengan dukungan elit politik.
“Global Wealth Report merilis 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan penduduk. Dan 10 persen orang terkayanya menguasasi 75,3 persen kekayaan total penduduk Indonesia. Databoks.katadata.co.id/
Sehingga ketika Prabowo mengatakan ekonomi kita di kuasasi segelitir elit, katanya, itu sangat masuk akal dan gejala ini bukan hanya terjadi di Indonesia, ini sudah menjadi isu dan permasalahan global. Sudah banyak elit dan para intelektual bicara tentang ini.
Sekali lagi, suara Pak @prabowo di Indonesia sangat relevan dan sangat mewakili suatu kecemasan. Beliau adalah anak begawan ekonomi Prof. Sumitro Djoyohadikusumo dan keluarga yang sangat ‘melek’ dengan ekonomi suatu negara. #NegaraBisaPunah.”
Prabowo, kata dia, juga mengurai apa yang juga saya urai dalam buku saya tentang income percapita 4000 USD. Dia malah menemukan angka 3800USD.
“Maka jika pendapatan inti didominasi oleh yg 1 persen maka kalau mereka dikeluarkan sisanya adalah 1900USD. Belum lagi faktor hutang. #NegaraBisaPunah.”
Menurut Fahri, gejala pemusatan ekonomi ada di mana-mana. Gerakan occupy wall street (2011) di New York akarnya adalah ketimpangan.
“Slogan ‘We are the 99 persen’ yang disuarakan para demonstran merujuk pada ketidaksetaraan pendapatan dan kekayaan di AS antara orang-orang kaya (1 persen). #NegaraBisaPunah.”
Gerakan ini menjadi masif, bahkan Stiglitz, lanjut dia, dalam bukunya The Price of Inequality menyebut peristiwa gerakan menumbangkan rezim di seluruh dunia, bahkan Arab Spring pun, disebabkan oleh akar ketimpangan ekonomi.
“Apakah ketimpangan akan menjadi gerakan politik di sini?”
Tentu menurut Fahri kita tidak mau Indonesia mengalami apa yang dialami oleh negara-negara Eropa barat sekarang. Ketika kecemasan menjadi perasaan umum.
“Sehingga sedikit saja pemerintah salah rakyatnya ngamuk. Gerakan #JaketKuning di Perancis hanya dipicu oleh kenaikan BBM sekali saja. #NegaraBisaPunah.”
Karena itu, kata dia, pidato Prabowo adalah jalan keluar dan sekaligus katarsis bagi yang cemas bahwa kecemasan itu ada yang mewakili. Kita Harus memikirkan ini, kita harus atasi ini.
“Negara dalam ketimpangan adalah negara dalam ancaman kepunahan. #NegaraBisaPunah.” Apalagi jika ketimpangan akibat Penguasaan elit ekonomi dan politik atas kekayaan negara harus dihentikan jika kita tidak mau menjadi negara gagal.”
Reformasi dan pembenahan institusi ekonomi dan politik menjadi mutlak dilakukan agar kekuatan dan kekayaan tersebar merata. Semua institusi harus juga dibuat sedemokratis mungkin, tidak boleh ada institusi yang tak tersentuh.
“Semua harus terbuka aksesnya bagi masyarakat. Perbankan harus inklusif dalam menyalurkan kreditnya bahkan partai politik pun harus terbuka siapa pemodalnya. #NegaraBisaPunah.”
Inilah saran dari Acemoglu dalam bukunya Why Nation fail. Meski Apa yang dikatakan Acemoglu tersebut sudah sering diungkap oleh Founding father kita, Bung Hatta. “Meski kita sendiri mengabaikannya. Koperasi misalnya tak menjadi Soko guru perekonomian kita. #NegaraBisaPunah.”
Bung Hatta meletakkan dasar berekonomi negara ini dengan falsafah demokrasi ekonomi, yaitu ekonomi yang bersumber dari, oleh dan untuk rakyat. Penguasaan ekonomi oleh segelintir elit jelas bertentang dengan falsafah itu.
“Maka, pidato @prabowo sebagai keturunan para pendiri koperasi dan perbankan sejak zaman dahulu adalah legitimate. Tapi karena beliau akan bertarung menuju kursi kekuasaan tertinggi di Republik ini, biarkan beliau bertarung dengan narasi itu.”
Sebagai calon presiden, Prabowo, kata Fahri memang harus mengurai solusinya secara lebih nyata. Pidato itu adalah gugatan sekaligus proposal agar apa yg dicemaskan justru dapat kita atasi. “Kepemimpinan adalah jawaban dan bisakah Prabowo meyakinkan rakyat? Selamat berjuang!”
(Robi/voa-islam.com)