JAKARTA (voa-islam.com)- Negara merampas kebebasan berpendapat atas nama penegakan hukum. Di sini kita wajib merasa khawatir, karena negara direpresentasikan oleh pemerintah yang berpihak/ partisan.
Ia bergerak melalui yudikatif yang tidak sepenuhnya mandiri. Yang kita cemaskan adalah negara menjadi juru tafsir atas wilayah privat,” demikian pandangan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, melalui akun fanpage-nya, baru-baru ini.
Hal demikian terjadi karena menurut Fahri negara tidak siap berdialog secara demokratis dan dewasa. Negara mempersonalisasi kritik.
Memang tidak secara langsung, katanya. Tapi ia menunggu tokoh-tokoh oposan salah ucap.
“Karenanya UU ITE berpotensi dan terbukti dijadikan senjata membungkam mereka yang berbeda dengan pemerintah.”
Sepengetahuannya, Negara-negara demokrasi tidak memasukkan pencemaran nama baik sebagai bagian dari hukum pidana. Amerika Serikat merumuskan defamation sebagai bagian dari Tort Law (Hukum Perdata).
Meskipun terdapat beberapa negara bagian yang mencantumkan sanksi pidana, namun pada praktiknya tidak digunakan. Bahkan sebagian besar dari peraturan hukum tersebut dinyatakan tidak konstitusional lagi oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat.
“Inggris dalam Defamation Act 2013 tidak mencantumkan sanksi pidana untuk kasus pencemaran namabaik. Convention on Cyber Crime 2001 yang disusun oleh Dewan Eropa tidak memasukkan pencemaran nama baik dalam salah satu dari 4 jenis cyber crime yang diatur.”
Ada yang mengatur tentang “Content Related Offences” isinya adalah tentang pengaturan pornografi anak.
Pencemaran nama baik adalah urusan antar individu, namun membuat negara harus turun tangan dalam menjatuhkan hukuman. Ini tidak tepat secara konstruksi hukum. Dan juga tidak efektif dalam penyelesaian masalah hukum antara dua individu tersebut. Tema ini perlu didorong masuk area perdata.
(Robi/voa-islam.com)