JAKARTA (voa-islam.com)- DPP Gerindra melalui akun Twitter resmi miliknya merespon adanya upaya untuk mendiskreditkan Prabowo Subianto, yang disebutnya selalu kambuh menjelang (saat) Pilpres. Apalagi kalau bukan tuduhan-tuduhan ke Prabowo terkait sepak terjangnya ketika masih di militer.
Berikut respon DPP Gerindra, Selasa (12/3/2019):
“Segala upaya dilakukan untuk mendiskreditkan Pak @prabowo, mulai dari Pak Agum Gumelar yang selalu kambuh menjelang Pilpres dan oknum" seperti dibawah ini:
Pengakuan Faturrahman, Saat Dibagikan Buku 'Rekam Jejak Prabowo Subianto' Oleh Oknum Misterius. (merespon berita di salah satu media dengan judul:
“Pengakuan Faturrahman, Saat Dibagikan Buku 'Rekam Jejak Prabowo Subianto' Oleh Oknum Misterius” http://www.rmolkalbar.com/read/2019/03/12/5213/Pengakuan-Faturrahman,-Saat-Dibagikan-Buku-Rekam-Jejak-Prabowo-Subianto-Oleh-Oknum-Misterius
https://twitter.com/Gerindra/status/1105299222646022144
(setelah itu, admin dari akun Twitter Gerindra merespon berita di salah satu media dengan link: https://www.lippokarawaci.co.id/leadership-team/board-of-commissioners atas cuitan akun @nizamint: “Agum Gumelar Komisaris Lippo. James Riady bosnya”)
Pernyataan Agum Gumelar Agustus 1998, yang dimuat Tabloid DETAK No. 6/I, 18-24 Agustus 1998 yang harus kita catat, perintah BKO itu harus datang dari Panglima ABRI, dan yang terima BKO adalah Pangdam.
Selama ini Pak @prabowo terus-menerus dipersalahkan atas sebuah operasi yang jelas-jelas merupakan BKO, tapi kita tidak pernah mendengar ada Panglima atau Pangdam yang dimintai pertanggungjawabannya.
Menurut data @KontraS , apa yang kini digeneralisir sebagai aksi "penculikan", sebenarnya telah terjadi sejak lama, mulai dari Kasus 27 Juli 1996. Jadi bukan baru terjadi tahun 1998.
Karena operasi ini berlangsung selama beberapa gelombang, terjadi di sejumlah daerah, maka mustahil merupakan operasi tunggal dengan hanya satu kesatuan.
Dari segi waktu, ada beberapa periodisasi kasus orang hilang yang terjadi antara 1996 hingga 1998, di mana hal itu diduga terkait dengan sejumlah momen politik, mulai dari peristiwa Kudatuli, Pemilu 1997, hingga pengamanan Sidang Umum MPR Maret 1998.
Dan untuk kita semua ketahui, bahwa dalam periode itu telah terjadi dua kali pergantian panglima dan tiga kali pergantian KSAD.
Apa yang kini selalu dikaitkan dengan Kopassus sebenarnya hanyalah operasi pengamanan SU MPR, Maret 1998. Ancaman terhadap SU MPR memang nyata, salah satunya dibuktikan oleh ledakan bom di Rusun Tanah Tinggi, 18 Januari 1998, di kamar yang ditempati oleh sejumlah aktivis.
Itu sebabnya terjadi penangkapan terhadap Andi Arief, Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, dan lain-lain yang kemudian dibebaskan kembali, memang terjadi pada periode pasca-bom Tanah Tinggi hingga periode SU MPR, yaitu Februari hingga Maret 1998.
Jadi harus dipahami bahwa operasi yang dilakukan oleh Kopassus adalah operasi pengamanan, bagian dari kegiatan anti-teror, bukan operasi penculikan.
Sejumlah nama aktivis yang terkait perakitan bom Tanah Tinggi sudah angkat bicara. Sejumlah nama pengusaha yang disebut-sebut menjadi donatur kini kebetulan sedang sama-sama mencicipi kursi kekuasaan, bersama para jenderal yang dulu berebut panggung di era saat itu.
Kami sangat berharap kepada Pak Agum Gumelar untuk tidak menggelapkan sejarah. Jangan hanya kambuh saat Pilpres. Terima kasih.