JAKARTA (voa-islam.com)- Sejatinya, konsumen berhak menerima servis terbaik dari pihak pengada atau perusahaan sesuai prosedur. Kalau pun ada hal-hal yang dirasa merugikan, maka adalah hak konsumen untuk mempertanyakannya.
Pengada atau perusahaan mesti menjawabnya. Bukan justru seperti lari atau terkesan menyalahkan konsumen dari apa yang terjadi. Terlebih bila pengada atau perusahaan ini tengah bekerjasama dengan pihak pemerintah, makan tentu harus dijawab dengan terang agar ke depannya lebih baik lagi. Ini evaluasi untuk perusahaan (pemerintah) yang bekerjasama dengan perusahaan (swasta).
Amien, panggil saja demikian, mengaku pernah mengalaminya. Ia malah merasa dirugikan sebab tudingan dari pihak yang bekerjasama dengan perusahaan milik pemerintah. Meteran listriknya diblokir tanpa alasan jelas. Sesudah itu, ia mengaku diminta sejumlah uang (jutaan) agar aliran listrik kembali aktif. Ini sanksinya, kata dia ketika bercerita, beberapa waktu lalu.
Kesalahan yang ditanggung Amien hingga kini diakuinya tidak pernah dilakukan, yakni seperti tudingan pihak tersebut bahwa ada setrum yang keluar dan ada segel yang rusak. Tudingan itu menurut dia tentu tidak berdasar.
Ditambah lagi ketika ia mendatangi kantor itu di bilangan Jakarta Utara, kemudian meminta bukti resmi bahwa listriknya bermasalah, pihak di sana kata dia tidak bisa menunjukkannnya. Malah pihak sana kata Amien beralasan, “Nanti akan dicari.” Ia pun merasa aneh, karena harusnya, jika memang salah ada pemberitahuan (resminya).
Amien kemudian memberikan ultimatum ke pihak sana untuk membuka blokirnya dengan tos-tosan seperti akan membawanya ke ranah hukum dan lainnya. Sebab menurut dia, lagi-lagi dia tak pernah merasa membuat kesalahan. Bahkan orang yang mengontrak rumahnya itu tidak pula demikian. Sehingga ranah hukum dirasanya cara mudah agar masalah cepat selesai.
Atas ultimatum ketika itu, Amien mengaku blokir rumah kontrakannya dibuka. Butuh 1 bulan untuk itu.
Namun, tidak berapa lama, terjadi kembali pemblokiran dengan alasan yang sama: adanya setrum yang keluar dan ada segel rusak. Amien kembali mendatangi kantor itu. Ketika ia mendatanginya dan bertemu dengan petugas yang sama, Amien terkejut ketika ada tambahan masalah: ia dituding setujua akan men-DP cicilan atas sejumlah uang di atas.
Ia menegaskan ke petugas itu bahwa ia tidaklah pernah men-DP seperti tudingan pihak perusahaan (swasta). Amien mengaku, merasa pihak sana telah mengada-ngada. Sebab tiba-tiba ada DP. Amien juga mempertanyakan berdasarkan apa ia setuju mencicil. Sedangkan berita acaranya tidak ada.
Namun petugas itu menjawab bahwa berita acara itu telah terbakar di kantor lama. Petugas itu, atau pihak sana juga hanya menjawab, “Saya hanya membacakan keterangan yang tertera di aplikasi (di monitor komputer).”
Petugas itu tetap merasa kekeuh bahwa apa yang disampaikannya sesuai di aplikasi. Bahkan ia mempersilahkan jika Amien memperkarakannya ke ranah hukum.
Kasus ini baru saja terjadi. Tahun 2019 ini. Padahal, masalah yang dituding ke dirinya, sesuai aplikasi yang diakui pihak sana telah terjadi pada tahun 2014. Lalu Amien bertanya, “Kenapa baru sekarang dipersoalkannya?” Ia pun merasa bahwa ada kesan sengaja dari pihak yang kerjasama dengan pemerintah itu dikarenakan, selain tidak dapat menunjukkan surat resmi pemblokiran ketika ia sambangi, juga karena surat penanda pemblokiran (baru akan) dibuat secara manual oleh pihak sana. Tetapi, petugas yang melayani Amin tersebut mengaku hanya menjalankan tugas. Sebagaimana yang tampil di layar komputernya.
(Robi/voa-islam.com)