JAKARTA (voa-islam.com)- Demokrasi itu bisa hilang perlahan, maka waspadalah. Demokrasi bisa mendadak hilang oleh kudeta. Tapi demokrasi juga bisa hilang perlahan oleh pemimpin yang naik tahta dengan tipu daya. Orang-orang di belakangnya mengatur perampasan hak-hak rakyat secara saksama. Waspada!
Sebetulnya itu adalah kesimpulan dua guru besar universitas Harvard: Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Dalam buku mereka yang terkenal “How Democracy Die”. Mereka menuturkan bagaimana demokrasi bisa mati oleh kudeta militer atau oleh pemilu yang menaikkan para pemimpin curang.
Pandangan ini memang didasarkan oleh kekhawatiran akan menguatnya pengaruh dan gaya Donald Trump dalam memimpin Amerika saat ini. Tapi, indikator yang mereka buat untuk melacak diktator gaya baru itu sangat membantu kita untuk mewaspadai berbaliknya sejarah ke masa kelam.
Mussolini di Italia, Hitler di Jerman, Alberto Fujimori di Peru, sampai Juan Peron di Argentina semua terpilih melalui Pemilu. Ada contoh-contoh baru mulai dari Putin, Erdogan, hingga (tentunya) Donald Trump? Kenapa di negara-negara seperti Amerika demokrasi bisa terancam?
Pertama-tama karena pemimpin yang tidak komit atau bahkan tidak paham aturan main demokrasi.
Lalu, mereka menyangkal eksistensi lawan, atau oposisi, yang dituduh makar. Kemudian, pemimpin nampak kurang toleran dan akhirnya membatasi kebebasan sipil dengan berbagai cara yang mungkin.
Saya menambah satu varian yang sudah sering saya katakan. Bahwa tyran (hasil kudeta) tidak lebih bahaya daripada ignorant (pemimpin masa bodoh). Seorang pemimpin yang nampak lemah lembut, tetapi dikelilingi oleh serigala pemangsa kebebasan rakyat adalah awal bahaya besar.
Apakah kita tidak layak cemas? Silahkan dipikirkan sendiri sambil membaca buku yang jadi referensi. Kita harus mau melihat korban yang sudah berjatuhan; di penjara, di rumah sakit bahkan dalam kuburan. Ini melengkapi mereka yang telah memilih bungkam! Waspadalah!
*Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah