JAKARTA (voa-islam.com)- Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah adalah salah satu indikator paling dasar untuk mengetahui apakah demokrasi di sebuah negara berhasil berjalan. Tiga badan riset internasional menggelar sebuah penelitian untuk mengetahui: Edelman, Pew Research Center, dan Gallup World. Edelman di tahun 2017, mengatakan bahwa terdapat tren peningkatan ketidakpercayaan masyarakat dunia terhadap pemerintahnya.
Sedangkan Pew Research, memperlihatkan tren yang sama, menunjukkan lapisan lebih dalam bahwa masyarakat sebuah negara relatif kecewa dengan sistem politik yang ada di negara mereka. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya dipengaruhi beberapa hal, seperti apakah masyarakat melihat pemerintah dapat diandalkan, adil, dan cukup responsif dalam memberikan pelayanan publik dan melindungi mereka dari risiko ketidakpastian.
Di Yunani, krisis ekonomi tak pernah benar-benar pulih sejak 2008. Langkah-langkah pengetatan ekonomi yang diberlakukan untuk mengembalikan keadaan ekonomi membuat masyarakat Yunani kehilangan kepercayaan pada pemerintahnya.
Belum lagi masalah peneggakan hukum. Di sejumlah survei, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri kerap berada di urutan terendah. @DivHumas_Polri
Sangat berbeda dengan saat awal-awal Reformasi. Saat itu, publik mempunyai ekspektasi sangat tinggi kepada Polri, yang baru dilepaskan dari ABRI, untuk mengawal Reformasi.
Aksi-aksi penangkapan teroris, pernyataan-pernyataan tentang intelijen, tapi membuka kebenaran tentang kasus Novel Baswedan saja tidak kunjung usai. @DivHumas_Polri
Semua polisi, khususnya para petinggi Polri, harus menyadari bahwa masyarakat sekarang sudah tidak bodoh. Sudah tidak jamannya lagi membodoh-bodohi rakyat. @DivHumas_Polri
Sikap seperti ini justru akan merusak citra polisi sendiri. Polisi harus menyadari bahwa masyarakat sekarang sudah pintar, cerdas dan kritis. Mereka bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Mereka bisa melihat dan membedakan mana yang bersih dan tidak. @DivHumas_Polri
Polri harus berani melakukan otokritik. Untuk ini dibutuhkan sikap jujur dan berani menegur yang salah pada oknum polisi sendiri. Sikap ini merupakan sikap seorang ksatria. @DivHumas_Polri
Seseorang dikatakan sebagai ksatria bukan cuma kemenangan yang diraihnya, melainkan juga kejujuran dan ketulusannya untuk mengaku kalah dan salah. @DivHumas_Polri
Seseorang dikatakan ksatria bukan hanya karena berhasil mengalahkan atau menangani orang lain, melainkan juga mengalahkan diri sendiri. Seperti menahan nafsu menganiaya orang yang sudah tidak berdaya. @DivHumas_Polri
Polri hendaknya memiliki sikap ksatria ini. Artinya, Polri berani mengaku salah dan mau menangani anggotanya yang tidak benar. @umbohc @DivHumas_Polri
Untuk itu, sangat dibutuhkan jajaran petinggi Polri yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan soal moral dan integritasnya; yang mau mundur dan diproses hukum bila dirinya berbuat salah. @umbohc @DivHumas_Polri
Saat hukum sudah tidak adil, semua tergantung uang dan penguasa, jika sudah seperti itu bukankah wajar kalau rakyat lantas kehilangan kepercayaan pada pemerintahnya? @umbohc @DivHumas_Polri
Cuitan DPP Gerindra tersebut adalah respon dari cuitan salah satu warganet @umbohc: “Mungkin @Gerindra @PKSejahtera lupa bahwa kita sempat hidup di era dimana mertua capres yg mereka usung berkuasa, suara rakyat dibelenggu. Mungkin mereka lebih rindu jaman represif,” Selasa (28/5/2019). Dan cuitan dia berawal dari komentarnya atas berita di salah satu media: “setuju nga sama Pak BW kalo pemilu taun ini adala yang terburuk??? #Terbaru #Pojokan”.
*DPP Gerindra on Twitter
(Robi/voa-islam.com)