JAKARTA (voa-islam.com)—Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan bertugas menjadi Inspektur Upacara Hari Lahir Pancasila yang dilaksanakan di silang Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Sabtu (1/5/2018). Upacara ini diikuti para PNS di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
Dalam kesempatan Hari Lahir Pancasila ini, semua inspektur upacara di seluruh Indonesia diwajibkan membaca teks yang sama dari Plt Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Tak terkecuali Anies.
Selesai membaca teks pidato dari Plt Kepala BPIP, Anies memberi tambahan pidato. Kemudian pidato tambahan ini viral dalam bentuk video. Pidato tambahan ini kemudian lebih mengena dan mendalam soal konsep Pancasila.
Seperti apa garis besar isi pidato Anies? Berikut dijelaskan Anies pada Fanpage Facebook Anies Baswedan yang dimuat, Senin (3/6/2019).
Rekaman video pidato itu beredar di sosial media dan banyak yang bertanya, bagaimana ceritanya sampai berbicara soal Pancasila saat upacara.
Begini ceritanya...
Semua inspektur Upacara Hari Kelahiran Pancasila di 1 Juni 2019, di seluruh Indonesia, wajib membacakan teks yang sama yaitu teks dari Plt. Kepala BPIP.
Selesai membacakan teks tersebut, saya merasa perlu untuk memberikan tambahan.
Mengapa?
Teks pidato yang wajib saya bacakan adalah teks pidato seragam untuk semua upacara di seluruh indonesia, yang isinya lebih banyak soal keragaman dan perlunya bersatu dalam bhinneka. Minim soal keadilan. Padahal, bagaimana mungkin kita membangun persatuan tanpa keadilan?
Saya merasa perlu mengingatkan diri sendiri dan seluruh jajaran Pemprov DKI bahwa Pancasila itu bukan sekadar soal warna-warni tampil bersama lalu seakan sudah bersatu. Tentu baik-baik saja sebagai simbol, tapi kita harus mengejar lebih dalam daripada kegiatan seremonial.
Hadirnya Pancasila itu adalah soal menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyat sehingga semua rakyat memang ingin terus bersama, semua ingin terus bersatu. Keadilan yang dirasakan rakyat akan memunculkan persatuan yang hakiki, bukan persatuan yang seremonial.
Lihatlah pesan penting dari Proklamator kita. Pidato Bung Hatta pada 1 Juni 1977, tiga tahun sebelum wafat, di Gedung Kebangkitan Nasional, mengatakan, “Kadang-kadang dalam lingkungan petugas negara, Pancasila itu tidak diamalkan. Camkanlah, negara Republik Indonesia belum lagi berdasarkan Pancasila, apabila Pemerintah dan masyarakat belum sanggup mentaati Undang-Undang Dasar 1945, terutama belum dapat melaksanakan Pasal 27 ayat 2, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34.”
Pasal yang dimaksud Bung Hatta itu adalah Pasal 27 soal pekerjaan dan penghidupan yg layak, pasal 31 soal pendidikan untuk semua, pasal 33 itu soal perekonomian dan cabang produksi yang digunakan sebanyaknya untuk kepentingan rakyat, serta pasal 34 soal fakir miskin dan hadirnya jaminan sosial.
Sejalan dengan Itu, Bung Karno pun mengatakan hal serupa. Lihat pidato di 1 Juni 1945, Bung Karno mengungkapkan bahwa Pancasila bukan semata-mata sebagai perwujudan identitas kultural tetapi juga usaha dekolonisasi untuk membentuk sistem berkeadilan sosial di Indonesia.
Bung Karno tegaskan ulang saat wawancara di buku Cindy Adam dengan kalimat sederhana dan berotot yaitu, "Nasionalisme tanpa keadilan sosial mendjadi nihilisme."
Pesan utamanya: pemerintah lah yang harus mulai melaksanakan Pancasila untuk menghadirkan keadilan sosial.
Tugas pemerintah, tugas kami di pemerintahan, mendorong terciptanya rasa keadilan sosial di rakyat. Dari sinilah kemudian hadir rasa persatuan yang hakiki di rakyat, bukan sekadar persatuan seremonial.
"Pancasila harus tertanam dalam hati yang suci dan diamalkan dengan perbuatan nyata. Pancasila tidak boleh dijadikan hiasan bibir saja, itu berarti pengkhianatan pada diri sendiri," demikian pesan amat tajam dari Bung Hatta.
Itu semua adalah kata-kata Bung Karno dan Bung Hatta. Ini sekaligus mengingatkan kita, jangan sesekali meremehkan kata-kata. Janganlah ada yg berkata, “Ah, cuma ngomong, cuma pidato.”
Ya, yang disampaikan oleh para Proklamator itu memang kata-kata. Tapi kita semua tahu bahwa setiap kata dan kalimat yang keluar dari kita itu mencermin gagasan, ide dan cara berpikir yang ada di benak kita. Bahkan Pancasila pun adalah rangkaian kata-kata. Ide dan kata itu menghasilkan kebijakan, muncul karya, dan muncul kerja.
Kebijakan dan kerja di Pemerintahan yang tanpa dasar ide, tanpa dasar ideologi akan bisa menjauhkan kebijakan pemerintah dari tujuan Pancasila.
Jadi, kembali pada soal pidato tambahan sesudah membaca teks wajib itu.
Pidato itu memang sekadar spontanitas saja, yang muncul otomatis saja sebagai usaha melengkapi, meneruskan atas teks yg wajib saya baca.
Lewat pesan tambahan itu, saya mengajak pada diri sendiri dan seluruh jajaran untuk melihat ulang semua kebijakan kita, sudahkan sejalan dengan semangat Pancasila yaitu keadilan sosial?
Tujuannya sederhana, jangan sampai jajaran Pemprov DKI merasa bahwa Pancasila itu hanya tentang keragaman dan persatuan, padahal yang paling mendasar dan penting justru tentang pemerintah, tentang kami, yang harus melaksanakan Pancasila yaitu menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Begitu ceritanya... ???????? #ABW *[Syaf/voa-islam.com]