JAKARTA (voa-islam.com)- Bertarung untuk hidup yang mulia dan juga untuk kehormatan. Pertarungan memang tidak melulu soal hitung-hitungan kalah dan menang.
Bertarung juga bukan karena sesuatu terkait material, kecuali hanya untuk nilai dan untuk pikiran. Demikian jalan sepi para petarung.
Para petarung menyusuri pinggir pesta kemenangan dan menanggung dukalara dari kekalahan. Walau dirasa pahit, tapi itu pilihannya.
Tidak ada cara untuk menjaga kehormatan kecuali dengan kepala tegak menerima kekalahan. Mengapa kau ikut dalam pesta kemenangan? Pernahkah kau dikhianati? Pernahkah kau ditikam dari belakang?” tulis Fahri Hamzah, Sabtu (13/7/2019), di akun Twitter-nya.
Fahri mengaku pernah dikhianati dan ditikam. Pernah pula ketika sedang bertarung dan sengit dalam perang, ia malah diminta berbalik ke belakang, kemudian ditikam oleh kawannya sendiri.
“Ada sakit sebentar. Sepii. Tapi kusadari arti jalan ini. Kutau bahwa aku akan terus ada dalam sepi.”
Lalu ia kumpulkan (lagi) seluruh pasukan. Dan ia katakan akan melawan. Ia pun disambut perjuangan. Terhibur. Padahal tempat itu adalah tempat yang tidak pernah terbayangkan.
“Inilah hakikat perjalanan.”
Ia merasa tak mengapa ketika pada kenyataannya menyusuri banyak sisi daa keheningan. Sebab, katanya, ia bertarung bukan karenanya dan tidak untuk egonya.
Ia juga mengaku bertarung bukan untuk tanda jasanya. Tidak diperlukan. Ia juga berjuang juga bukan untuk menegakkan singgasana.
Fahri bertarung hanya untuk kemuliaan. Melawan untuk kebenaran. Bersaksi sampai ujung waktu. Pun kalau menang, ia mengaku juga bukan marena berharap sesuatu, apalagi pujian. Demikian juga dengan kekalahan, tak membuatnya meraung kesedihan.
“Aku punya tujuan. Aku punya jalan.Kawan, izinkan kami kembali ke medan laga. Menyusun kekuatan. Untuk sebuah keyakinan. Karena harus ada api untuk sebuah kehangatan. Agar hidup tidak beku. Agar ada kemerdekaan. Untuk kemuliaan. Kehormatan. Yang sejati. Murni.”
(Robi/voa-islam.com)