JAKARTA (voa-islam.com)- Di banyak negara, krisis ekonomi seringkali dimulai atau disebabkan dengan gagalnya negara tersebut dalam membayar utang-utangnya, baik utang negara maupun utang swasta. Pada 2012 contohnya, Yunani tidak bisa membayar utang-utangnya senilai USD 138 miliar, atau sekitar Rp1.794 triliun.
Namun, Yunani mendapat bantuan dari partnernya di Eropa berupa suntikan dana (bailout). Ini yang menjadi pemicu terjadinya krisis di Yunani.
2001 mata uang Argentina dipatok sama dengan Dollar AS dalam bertahun-tahun. Namun ternyata, nilai tukar mata uang Argentina dengan mata uang asing menjadi tidak akurat.
Hal tesebut membuat kepanikan, warga Argentina mulai menarik uang dari perbankan. Pada Juli 2014, Argentina dinyatakan gagal bayar (default), tidak bisa membayar utangnya kepada kreditur.
Puerto Rico, negara ini juga tidak mampu membayar utang obligasinya karena kehabisan uang tunai. Puerto Rico tidak mampu memenuhi syarat untuk restrukturisasi utangnya yang mencapai USD73 miliar atau sekitar Rp949 triliun. Akhirnya negara tersebut mengalami krisis.
Jamaika, pada 2010 pemerintah negara ini melakukan belanja anggaran besar bertahun-tahun, dan tingginya inflasi membuat Jamaika tidak bisa membayar utang-utangnya. Saat itu, 40 persen dari anggaran pemerintah dialokasikan untuk membayar utang.
Lalu bagaimana dengan negara kita? Di Indonesia, selama ini kita semua mengkhawatirkan utang negara khususnya utang valas yang meningkat tajam, yang akan mengawali terjadinya krisis ekonomi.
Saat ini kita semua mencemaskan besarnya utang BUMN yang bisa menyebabkan krisis, karena kita ketahui bahwa hampir semua proyek-proyek infrastruktur kita saat ini dibiayai oleh utang yang tidak ekonomis dan kurang produktif setelahnya.
Seperti saat ini, kekacauan di PT Krakatau Steel, Asuransi Jiwasraya, PT Garuda, dan membengkaknya utang-utang BUMN Karya, ditambah besarnya kredit bermasalah di bank-bank plat merah, menjadi sebuah 'warning' yang tidak bisa dihiraukan.
Kita ketahui bahwa kegagalan membayar utang malah diawali oleh swasta dari industri tekstil. PT DMDT dari Group Duniatex yang menerbitkan obligasi 300 juta Dollar AS pada Maret 2019 gagal membayar kupon obligasinya. Anehnya, obligasi yang baru berjalan 3-4 bulan tersebut sudah mengalami kegagalan pembayaran kupon.
Informasi menyatakan bahwa Group Duniatex juga menarik utang dari sindikasi bank termasuk bank-bank negara, seperti Indonesian Eximbank sebesar Rp17 Triliun. Yang sangat mengagetkan lagi ketika JP Morgan mengatakan bahwa pada tahun 2018 Group Duniatex mendapatkan kredit 362,3 juta Dollar AS dan Rp5,25 Triliun.
13. Walaupun baru kupon, kegagalan pembayaran utang ini akan menghancurkan nilai obligasi tersebuyt sebagai junk dan mau tidak mau pemiliknya akan membukukannya sebagai kerugian.
Selain mengkhawatirkan pasar modal, kerugaian gagal bayar tersebut juga meningkatkan NPL (Non Performing Loan/kredit macet) perbankan.
Bila situasi dan kondisi gagal bayar utang seperti ini terus berlanjut, bisa dipastikan nilai tukar Rupiah dan index saham akan ambruk, Dollar sepi di pasar, barang-barang impor impor naik tinggi, dll.
Itu semua juga akan mengakibatkan kredit rating Indonesia terpuruk, dan pertanda akan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan.
Kita tentu sangat mengharapkan bahwa situasi kegagalan pembayaran tadi tidak diikuti dengan kegagalan pembayaran debitur swasta yang lain, terlebih BUMN atau Pemerintah. Karena jika sampai terjadi krisis ekonomi sat ini, dipastikan Pemerintah tidak dalam posisi yang mampu untuk menolong, berbeda dengan krisis moneter pada 98 ketika Pemerintah mampu bertindak sebagai penolong swasta yang gagal bayar utang.
Jadi saat ini kami meminta kepada Pemerintah khususnya juga @KemenkeuRI untuk berhati-hati dan waspada dengan kondisi seperti ini. Jangan terus berasumsi atau berkoar-koar bahwa ekonomi kita kuat, namun jika terjadi krisis sibuk mencari kambing hitam.
*Gerindra on Twitter