JAKARTA (voa-islam.com)- Semangat dan Optimisme untuk selalu bersama justru kandas ketika Prabowo memilih untuk bertemu dengan Jokowi. Pertemuan keduanya mendapatkan sorotan, baik dari kubu Jokowi maupun pendukung Prabowo. Sebagian besar pendukung Prabowo tidak dapat menerima pertemuan itu, dengan alasan bahwa itu adalah pengakuan kekalahan.
Artinya “kebenaran mengaku kalah terhadap kecurangan”. Prabowo memberikan seluruhnya kepada Jokowi termasuk legitimasi kemenangan yang sebenarnya masih dianggap didapatkan oleh Jokowi dengan kecurangan. Kira-kira begitulah anggapan umum yang berkembang di media sosial.
Bertemu Jokowi atau tidak, itu hak politik Prabowo. Pertemuan (rekonsiliasi) tersebut mungkin bisa menjadi jalan Prabowo untuk memperjuangkan nilai yang selama ini di diyakininya. Hal itu tidak salah, karena itu Hak politik seseorang. Terkait sikap Prabowo tersebut, saya setuju dengan apa yang di tulis oleh Dr. Syahganda Nainggolan, bahwa Prabowo bukan tipe yang mampu mempertahankan dan memperjuangkan nilai, tetapi ia merupakan tipe orang yang membutuhkan kekuasaan untuk menjalankan nilai.
Justru ini berbeda dengan semangat rakyat yang ingin berjuang untuk mempertahankan nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran itu.
Untuk menegakkan nilai inilah, gelora Perjuangan umat Islam dan rakyat Indonesia, termasuk emak-emak militan dan rakyat umumnya masih terus menyala. Umumnya mereka akan mengambil jalan “oposisi” demi nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran. Martabat perjuangan rakyat ini justru semakin menguat setelah peristiwa MRT Lebak Bulus.
Ternyata tidak berhenti di situ, Prabowo justru gencar melakukan pertemuan. Beberapa hari yang lalu, Ia menemui Megawati Soekarnoputri, sekaligus menjadi sinyal untuk menyempurnakan rekonsiliasi. Bagi saya rekonsiliasi itu fatamorgana, karena dalam pandangan pihak Jokowi, Prabowo adalah merupakan lawan politik, terlepas dari framing rekonsiliasi yang di jalankan dan mungkin juga janji untuk bagi-bagi kekuasaan.
(Bersambung)