JAKARTA (voa-islam.com)- Dalam pengaturan kejaksaan pasca-reformasi, baik dalam konstitusi maupun peraturan lain, tampak bahwa posisi Jaksa Agung sejatinya didesain untuk independen dari kepentingan politik. Risalah sidang pembahasan amandemen Pasal 24 UUD 1945 menyebutkan secara jelas keinginan banyak anggota MPR menempatkan Jaksa Agung secara independen sbg bagian dari kekuasaan kehakiman dan menegaskan keterlibatan DPR dalam pemilihan Jaksa Agung.
“Komitmen Presiden terhadap penegakan hukum kini kembali diuji, saat ada parpol pendukungnya meminta jatah kursi Jaksa Agung di pemerintahan mendatang. Pilihan Presiden atas Jaksa Agung akan menentukan hitam-putih proses penegakan hukum di Indonesia ke depannya,” Gerindra mengingatkan.
Namun sayangnya, keinginan MPR ini gagal diterjemahkan oleh pemerintah saat menyusun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Akibatnya, hingga saat ini, mekanisme pemilihan Jaksa Agung masih sama seperti pada amsa rezim otoriter Orde Baru.
Meski demikian, hingga satu dekade sejak Undang-Undang Kejaksaan disahkan, Pesiden selalu memilih Jaksa Agung yang tidak memiliki afiliasi dengan partai politik. Hal ini kemudian berubah pada 2014, saat Presiden memilih Jaksa Agung yang berasal dari parpol pendukungnya.
Hal inilah yang kemudian menjadi pembenaran bahwa posisi Jaksa Agung sama seperti posisi anggota kabinet, yang bisa dibagi kepada parpol yang berjasa memenangkan calon dalam pemilihan Presiden. “Sebagai aparat yang tunduk pada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, jaksa jelas tidak boleh berafiliasi dengan parpol mana pun,” tertulis di akin Twitter resminya.
Menurut Gerindra, keterlibatannya berbahaya bagi proses penegakan hukum. Apalagi jaksa memiliki fungsi magistraat, yang harus memiliki independensi saat menjadi dominus litis, penentu apakah suatu perkara pidana dapat dituntut atau tidak di pengadilan. 1Dengan model kejaksaan yang masih mempertahankan sistem komando, posisi Jaksa Agung berperan penting sebagai pengendali semua tugas dan wewenang jaksa dalam sistem peradilan pidana.
Maka, memberikan posisi Jaksa Agung kepada parpol sama dengan memberikan peluang kepada mereka melakukan intervensi terhadap penegakan hukum. Mekanisme pemilihan Jaksa Agung tidak seperti pemilihan pimpinan lembaga penegak hukum lain, seperti Kapolri atau pemimpin KPK, yang harus melibatkan banyak pihak dan melewati proses yang panjang.
Undang-Undang Kejaksaan hanya menyebutkan bahwa Jaksa Agung cukup dipilih oleh Presiden. Banyak pihak mengartikannya sebagai hak prerogatif Presiden. Presiden dapat menjawab kritik masyarakat sipil ihwal komitmennya tehadap supremasi hukum dengan memulai perbaikan mekanisme pengangkatan Jaksa Agung.
Untuk mendapatkan kandidat yang profesional dan berintegritas, Presiden dapat mengubah peraturan Presiden tentang kejaksaan dengan menambah ketentuan mengenai prosedur pengangkatan Jaksa Agung melalui pembentukan tim seleksi yang independen dan profesional, serta pelibatan lembaga, seperti KPK, Komisi Kejaksaan, dan Ombudsman.
Calon bisa dijaring dari setiap warga negara yang memiliki integritas ataupun dari internal kejaksaan.”
Jika ini dilakukan, Presiden tidak hanya akan mewariskan ketentuan yang berharga soal mekanisme pemilihan Jaksa Agung yang akuntabel dan profesional, tapi juga menjadi langkah awal dalam reformasi birokrasi kejaksaan.
(Robi/voa-islam.com)