View Full Version
Jum'at, 23 Aug 2019

Bayar Utang Negara dengan Utang ke Negara Lain?

JAKARTA (voa-islam.com)- Fraksi Partai Gerindra di DPR RI berpandangan praktik pembiayaan utang yang membawa Indonesia pada siklus pembiayaan utang dengan berutang adalah kondisi terburuk yang harus segera diatasi. Apalagi penambahan utang yang agresif tidak sebanding dengan kinerja perekonomian nasional dalam menunjukan fundamental ekonomi yang kuat, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan meningkatnya kesejahteraan rakyat.

Hal ini menjadi salah satu pandangan Fraksi Partai Gerindra @DPR_RI yang dibacakan oleh Anggota Komisi V DPR RI Bambang Haryo S dalam Rapat Paripurna DPR RI yang beragendakan Pemandangan Umum Fraksi-fraksi atas RUU Tentang APBN Tahun Anggaran 2020 beserta Nota Keuangannya.

“Pemerintah seharusnya sadar ketergantungan pembiayaan yang bersumber dari utang adalah akibat kegagalan mencapai target penerimaan pajak. Selain itu juga sebagai bukti dari belum optimalnya pengelolaan penerimaan negara yang ada. @KemenkeuRI,” demikian cuitan Gerindra, Jumat (22/8/2019). 

Fraksi Partai Gerindra juga berpandangan bahwa Pemerintah harus menyadari keseimbangan primer yang masih mengalami defisit. Keseimbangan primer adalah selisih antara penerimaan dikurangi belanja yang tidak termasuk pembayaran utang yang jatuh tempo.

Dengan beban utang yang sangat besar, Pemerintah harus berutang untuk membayar bunga utang.”

Sebagaimana diketahui, pada tahun 2014 defisit keseimbangan primer tercatat sebesar Rp83,3 triliun, pada tahun 2015 meningkat menjadi Rp 136,1 triliun. Kemudian pada tahun 2016 turun menjadi Rp122,5 triliun, sedangkan pada tahun 2017 defisit keseimbangan primer negatif sebesar Rp124,4 triliun.

Bahkan pada tahun 2018 kembali defisit Rp1,8 triliun. Dengan keseimbangan defisit tersebut Pemerintah harus berutang untuk membayar utang yang sudah jatuh tempo. Begitu juga rasio penerimaan pajak yang tidak pernah mencapai target. Tahun 2014 target penerimaan pajak sebesar Rp1072 triliun, realisasinya hanya Rp985 triliun atau sekitar 91,9 persen dari target. “Tahun 2015, penerimaan pajak hanya 81,5 persen. Rp 1055 triliun dari target Rp1294 T.”

Realisasi penerimaan pajak tahun 2016 hanya sebesar Rp1283 triliun atau 83,4 persen dari target sebesar Rp1539 triliun. Sementara tahun 2017 realisasi penerimaan pajak sebesar Rp1014,7 triliun atau 89 persen dari target sebesar Rp1283 triliun. Pada tahun 2018  sebesar Rp1315,9 triliun, atau 92 persen dari target APBN sebesar Rp1424 triliun.

Kegagalan Pemerintah terhadap pencapaian penerimaan pajak itu berdampak pada keseluruhan kinerja APBN. Menghadapi ini Pemerintah seharusnya fokus pada upaya perbaikan penerimaan pajak serta bisa optimal. Dan juga yang paling penting membenahi sistem perpajakan selama ini, termasuk merealisasikan pemisahan @DitjenPajakRI dari @KemenkeuRI.

Pemisahan tersebut harus disertai dengan kewenangan yang memadai untuk mengoptimalkan potensi penerimaan pajak yang ada. Upaya membenahi sektor pajak sangat mendesak dan segera, agar keuangan negara tidak tergantung pada utang.

Fraksi Partai Gerindra mendesak Pemerintah dan seluruh fraksi untuk menuntaskan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan. “DPR RI perlu merealisasikan apa yang jokowi janjikan dalam Nawacita yaitu memisahkan @DitjenPajakRI dari @KemenkeuRI.”

Dalam mendukung program prioritas, Fraksi Partai Gerindra juga mendorong Pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada impor, baik barang konsumsi atau kebutuhan bahan baku industri nasional. Melepas ketergantungan akan berimbas positif bagi perbaikan fundamental ekonomi nasional, neraca perdagangan dan neraca pembayarannya. Dengan begitu, Indonesia bisa mendapatkan stabilitas  perekonomian nasional yang lebih kokoh dan tidak mudah diguncang oleh gejolak eksternal seperti yang selama ini dialami.

(Robi/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version