JAKARTA (voa-islam.com)- Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS). Selain dinilai sarat dengan nilai liberalisme yang mengabaikan Pancasila, ketahanan keluarga, agama dan moralitas bangsa Indonesia, juga dinilai memiliki kata-kata ambigu yang berbahaya dalam penafsiran hukumnya.
Berikut kata-kata yang dinilai berbahaya tersebut:
“Perbuatan lainnya....”, “Biaya lainnya yang diperlukan....”, “Hasrat seksual....”, “Dokumen pendukung lainnya yang dibutuhkan oleh Korban....”, “Relasi kuasa....”, “Keluarga dan kelompoknya....”, “Relasi gender....”, “Hak penguatan psikologis....”, “Pendamping lain....”, “Gender....”, “Kepentingan terbaik....”, “Situasi khusus lainnya....”, “Perbudakan seksual....”, dan lainnya.
Menimbang banyaknya kata-kata ambigu di atas, naskah RUU P-KS tidak layak untuk diterapkan sebagai naskah hukum yang seharusnya lugas dan tidak multitafsir. Salah satu hal yang paling mencengangkan adalah Pasal 136 RUU P-KS yang menyebutkan bahwa korporasi dapat dipidana ganti kerugian karena melakukan kekerasan seksual.
Persoalaannya, korporasi yang dimaksud di dalam RUU P-KS adalah sekumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum,” demikian rilisnya, Selasa (27/8/2019).
Pertama, korporasi dalam hukum bisnis sudah pasti berbadan hukum karena kekayaan yang terorganisasi secara terpisah dari orang per orang hanya dapat dilakukan oleh badan hukum. “Mengapa RUU P-KS memuat definisi yang tidak lazim lewat kata-kata bersayap?”
Kedua, tidak ada korporasi berbadan hukum yang dapat secara sengaja didirikan untuk melakukan perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan karena sudah pasti menyalahi kausa halal dalam hukum perdata Indonesia. Ketiga, korporasi dalam makna yang sesuai dengan definisi dalam RUU P-KS di atas paling mungkin di-implementasikan pada industri gelap seperti prostitusi. Sehingga penafsiran hukum atas Pasal 136 sangat logis diterapkan sebagai perlindungan bagi para pelacur yang bekerja di “korporasi” demikian.
“Dalam hal kasus demikian menjadi preseden peradilan, bukan tidak mungkin Indonesia digiring untuk melegalkan Industri perzinaan melalui RUU ini.”
RUU P-KS mengabaikan ketahanan keluarga.
Pertama, karena RUU P-KS hanya melihat kejadian pelanggaran dan/atau perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan sebagai peristiwa hukum yang terpisah dari struktur ketatamasyarakatan organik Indonesia. Kedua, Pengabaian terhadap institusi keluarga turut pula menafikan nilai-nilai kehidupan yang berakar urat dalam masyarakat Indonesia.
RUU P-KS berpotensi menyuburkan penyimpangan seksual (LGBTQ) dan perzinaan. Sebab bertolak belakang dengan jangkauan penegakan hukumnya yang begitu luas pada aspek pencegahan, pemidanaan, peradilan, dan pemulihan, RUU P-KS sengaja menyempitkan materi pengaturan pada kekerasan seksual. Sehingga sistem hukum yang terkait pelanggaran dan/atau perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan hanya akan menyempit pada perspektif kekerasan seksual. Konsep sistem hukum yang dimuat dalam RUU P-KS meniadakan konsep “kausa halal” karena unsur “paksaan” menjadi variabel utama dalam mendefinisikan telah terjadinya perbuatan kriminal pada kesusilaan. RUU P-KS pada keseluruhannya akan mengacaukan penafsiran hukum atas perbuatan yang halal dan tidak halal menurut hukum.
“Dalam hal pelacuran dengan paksaan maka tidak diperbolehkan, dalam hal pelacuran tidak paksaan maka diperbolehkan. RUU P-KS merumuskan bahwa ‘saksi adalah orang yang mendengar dari korban’, bukan hanya yang melihat, mendengar dan menyaksikan sendiri suatu peristiwa hukum. Hal ini menyalahi logika hukum yang menghendaki adanya validitas fakta hukum. “
RUU P-KS memuat aspek pendidikan yang berbahaya bagi generasi masa depan bangsa. Pertama, karena konsep bobrok yang tergambarkan sebagaimana di atas merupakan bahan kurikulum pendidikan yang pada kelanjutannya harus dimuat di bawah RUU P-KS.
Kedua, kurikulum pendidikan dalam konteks kekerasan seksual ini sangat berbahaya karena tidak mempersoalkan mana perbuatan seksualitas yang dibenarkan dan tidak dapat dibenarkan karena hanya bertumpu pada keberadaan “persetujuan” yang dipisahkan dari tuntunan agama dan moral.
(Robi/voa-islam.com)