JAKARTA (voa-islam.com)--Diskursus soal amandemen kelima UUD 1945 sudah menjadi perbincangan warga atau publik luas. Salah satu isu yang mendominasi adalah soal masa jabatan presiden yang bisa tiga periode juga terpilih kembali dan mekanisme pemilihan presiden yang akan kembali dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sebagain besar warga khawatir, proses amandemen UUD 1945 akan menjadi bola liar di mana salah satu hasil yang dikhawatirkan lahir dari amandemen ini adalah presiden kembali dipilih oleh MPR.
Anggota DPD RI Fahira Idris menangkap kekhawatiran ini saat dirinya menggelar rangkaian sosialisasi Sosialisasi Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, di Tanjung Priok, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu (25/11). Menurut Fahira, kekhawatiran ini beralasan karena diskursus para elite soal amandemen memang didominasi soal kekuasaan semata. Pemilihan presiden lewat MPR menjadi kekhawatiran warga karena salah satu usulan yang menguat dalam amandemen adalah menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negaran (GBHN) melalui Ketetapan MPR.
“Alur yang dipahami warga adalah jika ada GBHN dan masuk dalam UUD maka Presiden menjadi mandataris MPR. Jika mandataris berarti alur selanjutnya Presiden kembali dipilih MPR. Sebagai sebuah kekhawatiran alur ini menjadi hal yang wajar. Oleh karena itu, pimpinan MPR harus lebih sering bicara ke publik bahwa pemilihan langsung Presiden oleh rakyat adalah amanat reformasi dan ketentuan negara demokrasi yang tidak bisa ditawar lagi,” ujar Fahira Idris.
Isu bahwa pemilihan Presiden akan kembali lewat MPR menguat dalam perbincangan publik juga dikarenakan kerumitan dalam pelaksanaan Pilpres 2019 yang juga mengakibatkan polarisasi tajam di masyarakat. Belum lagi jika bicara anggaran yang harus digelontorkan, termasuk ekses-ekses lainnya.
“Hemat saya amanat UUD 1945 saat ini jelas dan tegas bahwa Presiden tetap harus dipilih langsung oleh rakyat. Ketentuan ini jangan diotak-atik. Karena jika kembali ke MPR bukan hanya kita kembali ke masa lalu, tetapi juga memporakporandakan sistem ketatanegaraan bangsa ini, karena kita akan beralih menjadi sistem parlementer di mana hanya anggota DPR yang dipilih langsung,” jelas Fahira.
Pesan penting lainnya yang ditangkap Fahira adalah soal periodisasi kekuasaan presiden di mana sebagain warga cenderung setuju Presiden dibatasi satu periode tetapi durasinya diperpanjang lebih dari lima tahun.
“Warga ingin Presiden terpilih fokus bekerja, tidak terganggu dengan berbagai urusan konstestasi pemilu selanjutnya. Mungkin warga melihat pengalaman pilpres-pilpres sebelumnya. Satu periode tetapi masa jabatannya mungkin sampai 8 tahun,” pungkas Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI ini.* [Ril/Syaf/voa-islam.com]