JAKARTA (voa-islam.com)--Peneliti Amnesty Internasional Indonesia, Papang Hidayat, menyebut pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan pemerintah China terhadap Muslim Uighur di Xinjiang dilakukan secara sistematis. Menurut Papang, dari hasil pantauan lembaganya, pelanggaran HAM terhadap Uighur masuk katagori papan atas.
“Pelanggaran HAM atas Uighur ini masuk papan atas. Di atasnya persekusi sistematik terhadap Palestina yang diokupasi Israel, kemudian praktik apartheid Muslim Rohingya di Rakhine,” ungkap Papang dalam diskusi “Mengungkap Pelanggaran HAM terhadap Uighur” yang digelar Forum Jurnalis Muslim (FORJIM) di Jakarta, Jumat sore 20 Desember 2019.
Karena masuk katagori pelanggaran papan atas, lanjut Papang kasus Uighur ini masuk dalam kampanye global Amnesty untuk persekusi minoritas paling parah.
Papang, meskipun dia mengaku sebagai keturunan China dan non-Muslim, tetapi mempercayai hasil penelitian Amnesty. Ia mengaku hanya melaporkan yang telah dikerjakan oleh Amnesty.
Data tersebut, menurut Papang, bersumber dari tim Amnesty Internasional yang menangani isu Uighur. "Tim ini saya kenal dekat dan mereka bisa dipercaya," tuturnya.
Papang mengungkap, sejuta orang dari kelompok minoritas yang ditahan di kamp-kamp itu memang sebagian besar adalah Uighur. Namun ada juga dari jumlah itu berasal dari Kazakhstan dan Tajikistan. Mereka ditahan di kamp-kamp rahasa dan tak bisa diakses oleh keluarga.
“Ada istilah deradikalisasi. Kalau di sini ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, mungkin di sana ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik China,” kata Papang sembari tersenyum.
Angka sejuta itu, lanjut pria yang juga peneliti KontraS itu, bagi China yang penduduknya 1,4 miliar jiwa mungkin dianggap tidak seberapa. Tetapi tidak bagi negara-negara lain.
Mengenai istilah re-edukasi yang diklaim oleh China, hal itu disebut Papang sebagai cuci otak (brainwashing). “Kalau saya bilang itu dicuci otak dengan cara penyiksaan dan perlakuan buruk menurut hukum internasional,” kata dia.
Bukti lain bentuk pelanggaran HAM terhadap Uighur adalah pelarangan atas kebebasan berekspresi dan beragama. Pada Ramadhan lalu, ujar Papang, Amnesty Internasional mengungkap perlakuan buruk China terhadap Muslim Uighur. Mereka dilarang berpuasa.
“Semua anggota PKC yang muslim dilarang berpuasa. Masjid bebarapa ditutup. Orang berjenggot ditangkap. Ada juga orang yang tidak ditangkap tapi diawasi,” kata dia.
Ngerinya, kata dia, saat ini China memiliki kuasa di tingkat internasional dengan kekuatan ekonomi global yang luar biasa. Amerika Serikat sudah tersaingi. China berpengaruh terhadap negara-negara lain di dunia.
“Seratus lebih Uighur mencari suaka politik di Thailand dideportasi paksa ke China. Saya tak tahu kalau di Indonesia, ada apa tidak,” kata dia.
Bahkan, China juga berpengaruh terhadap negara-negara Muslim. Buktinya, kata Papang, belum ada negara Muslim yang menyoal Uighur. Padahal lembaganya sudah memberikan berbagai laporan secara konsisten bila ada diskriminasi sistematik. Amnesty bahkan menyebut apartheid seperti Rohingya di Rakhine.
“China berpengaruh terhadap negara Muslim atas nama kerja sama ekonomi atau negara Muslim yang belum ramah HAM,” tanyanya retoris.
Selain Papang, diskusi juga menghadirkan sejumlah narasumber. Di antaranya Wakil Ketua BKSAP DPR Mardani Ali Sera, Ketua Lembaga Kerjasama dan Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah KH Muhyiddin Junaidi dan SVP Global Humanity and Philantropy ACT-GIP Syuhelmaidi Syukur.* [Ril/Syaf/voa-islam.com]