JAKARTA (voa-islam.com)--Kasus kematian akibat Corona (Covid-19) hingga Jumat (27/3/2020) di Indonesia mencapai 87 orang dari 1046 kasus. Hanya 46 yang sembuh. Ini merupakan kasus kematian tertinggi di dunia yang mencapai sekitar 8,7 persen. Angka tersebut dua kali lipat di atas rata-rata dunia yang hanya 4 persen. Tingginya kematian Corona di Indonesia membuktikan Pemerintah terlambat dalam mengantisipasi mewabahnya Corona di Indonesia.
“Keterlambatan pemerintah dapat terkonfirmasi dari jejak digital para pejabat yang pada awalnya meremehkan Corona. Para pejabat tersebut berkomentar dengan nada meremehkan Corona. Ada yang jumawa bahwa Indonesia tidak mungkin kemasukan Corona. Ada yang meledek bahwa Corona tidak mungkin masuk Indonesia karena izinnya berbelit-belit. Dan bahkan menantang Harvard University untuk membuktikkan keberadaan Corona di Indonesia," ungkap Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan via Whatsapp, Sabtu (28/3/2020).
Sikap tersebut jelas menunjukkan bahwa Pemerintah tidak siap menghadapi Corona. Ketika diumumkan pertama kali kasus positif Corona pada 2 Maret 2020 lalu, semuanya tidak siap menghadapinya. Akibatnya, jumlah positif terus bertambah dan jumlah yang meninggal dunia pun mengalami lonjakan yang cepat. Ironisnya, Indonesia tidak belajar dari negara-negara yang terdampak korona lebih dahulu.
“Saat Corona masuk Indonesia, semuanya tidak siap. Bahkan untuk APD dan masker pun mengalami kekurangan yang signifikan. Saat ini, kondisinya sudah berbeda. Walaupun relatif terlambat, penanganan yang dilakukan pemerintah sudah lebih baik. Aksi cepat tanggap yang dilakukan dalam mengevaluasi warganya terkait Covid-19 tentu telah sesuai prosedur dari arahan lembaga kesehatan," tandas politisi Partai Gerindra itu.
Sementara kebijakan social distancing hingga physical distancing secara keseluruhan bisa dikatakan baru efektif 50 persen. Namun, program yang digalakkan Pemerintah misalnya libur sekolah dan work from home bagi ASN dapat dikatakan telah berhasil. Namun, tidak bagi pegawai informal dan swasta. Ini dapat dilihat dari transportasi umum, masih terlihat penumpukan penumpang saat diberlakukan pembatasan armada.
Artinya, masih banyak pegawai swasta dan informal yang harus berjibaku di jalan, sehingga kesulitan mengikuti program physical distancing. Solusinya, sambung legislator asal Sukabumi ini, Pemerintah tidak hanya sebatas mengimbau kepada perusahaan swasta untuk meliburkan pegawainya, namun sifatnya harus paksaan. Tanpa ada pembatasan yang ketat, pertumbuhan jumlah pasien karena penularan virus bersifat eksponensial.
Tiap periode waktu yang sama akan terjadi dengan jumlah pasien menjadi N kali kali lipat dari jumlah pasien sebelumnya. Mungkinkah masyarakat abai atau mungkin suka mempercayai aneka hoax yang beredar dan sebetulnya berdampak negatif. Sangat disayangkan penduduk yang rata-rata memakai smartphone dengan teknologi canggih lebih suka memilih kabar burung ketimbang konfirmasi resmi pemerintah.
“Sudah saatnya move on dan bersatu padu menanggulangi wabah internasional ini. Sudah waktunya meredam kepanikan, ketakutan, serta pesimisme yang terus bergulir. Mari bersama-sama menghadapi pandemi ini agar segera lekas berlalu. Hilangkan egoisme dalam diri. Bantu dan dukung pemerintah dalam proses mengatasi kegentingan penyebaran wabah ini. Masing-masing orang bersikap bertanggungjawab, cerdas, dan bersolidaritas dengan sesama," tutupnya.*
Sumber: Dpr.go.id