JAKARTA (voa-islam.com)—Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyampaikan catatan kritis atas Perppu No 1 Tahun 2020. Catatan kritis ini Anis sampaikan pada diskusi virtual yang diselenggarakan Majelis Ekonomi Syariah (MES) Jawa Timur, Selasa (21/4/2020) lalu.
Menurut Anis, Pemerintah RI mengeluarkan beberapa kebijakan dalam rangka mengatasi pandemic virus COVID-19. Ada tiga kebijakan strategis, yaitu:
Anis yang berasal dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyampakan beberapa kritisi terhadap kebijakan pemerintah tersebut.
Pertama, utamanya adalah dengan melebarkan defisit yang mencapai di atas 5%. “Maka Pemerintah harus bergerak cepat dan melakukan alokasi belanja yang sesuai dengan kebutuhan, dengan dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu: optimalisasi realokasi anggaran, dimana belanja-belanja yang tidak dibutuhkan dapat dialihkan untuk belanja penanganan dampak wabah Covid-19,” ungkap Anis.
Kemudian yang kedua adalah ekspansi fiskal, dengan menambah defisit anggaran sebagai bentuk stimulus perekonomian.
Tentang optimalisasi realokasi anggaran, Anis menilai pemerintah perlu mempertimbangkan melakukan efisiensi belanja. Ruang fiskal semakin sempit karena besarnya belanja-belanja wajib (rutin) seperti belanja pegawai, belanja barang, dan belanja bunga utang, meningkatkan efektivitas dan pengaruh komponen belanja-belanja pemerintah pusat menurut fungsi. Kemudian Pos-pos belanja rutin yang tidak diperlukan segera dialihkan kepada pos belanja lain.
Anis berpendapat bahwa ada banyak ruang efisiensi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah. “Misalnya, perjalanan dinas dalam negeri, dan belanja barang non-operasional, yang banyak digunakan untuk honorarium, penyelenggaran administrasi kegiatan di luar kota, paket rapat, dan lainnya,” jelas Anis.
Menurut Anis, dalam kondisi wabah seperti ini, belanja non-operasional diperkirakan tidak akan banyak bermanfaat.
Kemudian, Anis yang Doktor lulusan terbaik Universitas Airlangga ini juga menyoroti tentang ekpansi fiskal yang dilakukan Pemerintah. Kebijakan ekspansi fiskal diperlukan tetapi berbiaya tinggi.
Pemerintah dinilai masih kesulitan menjaga anggaran dengan baik, terbukti dari realisasi defisit APBN ternyata membengkak dari target awal. Berdasarkan rilis Kementerian Keuangan, defisit tahun 2019 mencapai Rp 353 Triliun, atau membengkak sebesar 19,2% apabila dibandingkan dengan kesepakatan di APBN 2019 yang sebesar Rp 296 Triliun atau 1,84 persen PDB.
“Ditambah lagi stagnannya pendapatan negara dikarenakan rendahnya realisasi pendapatan negara berupa shortfall penerimaan perpajakan. Pada tahun 2019 tercatat bahwa realisasi penerimaan perpajakan hanya mencapai 84,4% dari target. Rendahnya realisasi ini pada dasarnya mengikuti tren melambatnya pertumbuhan penerimaan pajak selama lima tahun terakhir,” demikian pungkas Anis.* [Syaf/voa-islam.com]