View Full Version
Ahad, 05 Jul 2020

Bukhori Yusuf: Sila Pertama Pancasila Dijiwai oleh Piagam Jakarta

JAKARTA (voa-islam.com)--Anggota DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf menyatakan, Pancasila yang saat ini termaktub dalam pembukaan UUD 1945 adalah Pancasila yang dijiwai oleh sila pertama pada Piagam Jakarta yang dirumuskan pada 22 Juni 1945. Menurutnya, hal ini berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945.

“Dalam sejarahnya, proses perumusan dasar negara kita mengalami banyak dinamika. Ketidakmampuan Badan Konstituante saat itu untuk menyusun UUD baru sebagai pengganti UUD Sementara 1950 akhirnya membuat Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam Dekrit tersebut secara tertulis memutuskan untuk kembali pada UUD 45 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945,” jelas Bukhori dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Semarang, Ahad (5/7/2020).

Artinya, sambung Bukhori, sila pertama yang kita kenal saat ini secara esensi bermakna Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya atau dengan kata lain dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Sebab itu, sila ketuhanan harus mewarnai dan menjiwai sila-sila setelahnya.

“Walaupun negara kita bukan negara agama, akan tetapi sangat menghargai dan menghormati kedudukan agama sebagai pondasi kehidupan bernegara. Oleh karenanya, Indonesia adalah negara yang berketuhanan sebagaimana didasarkan pada Pasal 29 ayat 1 UUD 45 yang menyebutkan bahwa Negara berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujarnya

Dalam kesempatan tersebut, ia juga sempat menyinggung terkait polemik RUU HIP. Koordinator Panja Pembahasan RUU HIP Fraksi PKS ini menyatakan bahwa dalam penyusunan RUU yang tidak memperhatikan aspirasi publik sangat berpotensi menjadi multitafsir di masyarakat. Di samping itu, dalam penyusunan suatu produk hukum seperti rancangan undang-undang juga perlu memperhatikan aspek sejarah dan fakta sosial.

“Dalam proses bernegara kita punya sejarah. Tragedi Madiun 1948 dan 1965 adalah contoh upaya yang pernah terjadi untuk merongrong Pancasila. Sehingga, kita tidak boleh ahistoris dan mengabaikan fakta sosial (asosial) dalam menyusun produk hukum terkait ideologi. Salah satunya, dengan tidak memasukannya TAP MPRS No.25/1966 Tentang Pembubaran PKI dalam penyusunan RUU HIP," jelas Anggota Komisi VIII DPR ini.

"Sebagai konsekuensi, pengabaian terhadap fakta sejarah dan sosial tersebut di kemudian hari akan menimbulkan banyak tafsir di masyarakat, salah satunya adalah anggapan publik bahwa RUU ini akan mengubah Pancasila. Oleh sebab itu, sejak awal Fraksi PKS sudah menolak,” sambungnya.

Lebih lanjut, politisi dapil Jateng I ini turut mendorong masyarakat, khususnya para peserta yang hadir untuk proaktif dan kritis dalam menyikapi segala isu yang terjadi khususnya terkait isu ideologi Pancasila. Menurutnya, partisipasi aktif publik dalam mengawal penyelenggaraan negara akan mendorong kebijakan publik yang aspiratif, yakni kebijakan yang terselenggara atas dasar kehendak rakyat.

“Kita tidak boleh apatis. Setiap warga negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga bangsa dan negaranya dari segala upaya untuk merongrong Pancasila sebagai dasar negara kita. Oleh sebab itu, sangat penting keterlibatan saudara sekalian dalam mengawal, mengkritisi, dan mendorong penyelenggaraan negara dalam menghasilkan produk kebijakan yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, salah satunya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya.* [Syaf/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version