JAKARTA (voa-islam.com)--Walau predator anak warga negara asing (WNA) asal Perancis, FAC alias Frans (65) yang memangsa 305 anak sudah tewas diduga akibat percobaan bunuh di dalam tahahan, tetapi penyelidikan kasusnya diharapkan tetap berjalan.
Selain untuk kebutuhan identifikasi semua anak yang menjadi korban kekerasan seksual agar mendapat pelayanan rehabilitasi sosial oleh negara, melanjutkan penyelidikan kasus ini penting untuk menelurusi sejauh mana eksploitas ekonomi yang telah dilakukan pelaku dan mencari tahu apakah pelaku masuk jaringan paedofil internasional.
Anggota DPD RI yang juga pemerhati perlindungan anak Fahira Idris mengharapkan dengan bukti-bukti fisik yang berhasil dikumpulkan dari kasus ini, polisi bisa mengidentifikasi semua korban agar segera mendapatkan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan mulai dari konseling, terapi psikologis, advokasi sosial, peningkatan kemampuan dan kemauan, termasuk penyediaan akses pelayanan kesehatan yang memang harus dipenuhi negara.
Kekerasan seksual apalagi dalam jumlah yang masif seperti ini harus ditangani secara serius terutama dari sisi pemulihan trauma psikis agar tidak menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat.
Melanjutkan penyelidikan kasus ini, lanjut Fahira, juga penting untuk mengungkap dugaan apakah predator anak ini masuk dalam jaringan paedofil internasional di mana salah satu modus operandi nya adalah memperjualbelikan video pornografi anak. Bukti fisik berupa 305 video mesum tersangka dengan anak di bawah umur di dalam laptop pelaku dapat menjadi titik awal pengembangan kasus ini. Berdasarkan pengalaman dari kasus-kasus sebelumnya, predator anak seperti ini punya jaringan internasional. Mereka berpindah dari satu negara ke negara lain untuk mencari mangsa.
“Ini termasuk kasus besar karena korbannya hingga ratusan dan anak-anak yang jadi korban semuanya harus diidentifikasi agar mendapat pemulihan dari negara. Motif pelaku yang merekam perilaku bejatnya terhadap anak juga harus ditelusuri lebih lanjut. Kepada siapa saja video ini dia transmisikan. Dari sini bisa diketahui jaringan pelaku. Jika dari bukti-bukti ternyata pelaku adalah jaringan paedofil maka Polri bisa menguak kasus yang lebih besar lagi bahkan mungkin bisa membantu polisi di negara lain dalam mengungkap kasus sejenis,” ujar Fahira Idris, di Jakarta, Senin (13/7).
Menurut Fahira, sejak disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, kekerasan seksual terhadap anak masuk dalam kategori kejahatan luar biasa setara dengan kejahatan narkoba, terorisme, dan korupsi. Oleh karena itu, tidak ada hukuman ringan bagi predator anak karena oleh undang-undang sudah menetapkan sebagai kejahatan luar biasa.
Bagi Senator Jakarta ini, kejahatan biadab yang dilakukan predator anak asal Prancis ini memenuhi kreteria Pasal 81 Ayat (5) jo Pasal 76D ayat 5 UU Perlindungan Anak. Di ayat 5 jelas disebutkan bahwa tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku kekerasan anak dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.
“Saya apresiasi kerja polri yang berhasil menguak kasus ini. Bayangkan jika ini tidak terungkap, mau berapa banyak anak-anak kita yang akan jadi mangsanya. Untuk itulah penyelidikan kasus ini perlu untuk dilanjutkan untuk menguak jaringan pelaku,” pungkas Senator Jakarta ini.* [Syaf/voa-islam.com]