JAKARTA (voa-islam.com)--Dalam 4 bulan terakhir ini semua pihak baik Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah sudah bekerja keras menanggulangi dan memutus rantai penularan virus corona. Sebagian masyarakat juga terus konsisten untuk tetap taat dan patuh terhadap berbagai protokol kesehatan di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit.
Bahkan selama 4 bulan ini tenaga medis tidak kenal lelah terus berjibaku memulihkan semua pasien corona. Namun sepertinya semua kerja keras dan perjalanan bangsa ini melawan corona masih panjang dan masih memerlukan energi yang besar.
Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, lonjakan kasus corona yang terjadi sepanjang Juli ini dan semakin turunnya tingkat kedisiplinan masyarakat menjalankan protokol kesehatan menjadi sinyal kuat bahwa perlu segera dilakukan evaluasi total baik dari sisi tataran strategi maupun dari sisi narasi atau komunikasi.
Jika bercermin dari penanggulangan corona di berbagai negara yang dianggap berhasil, di masa kurang dari 4 bulan negara-negara tersebut sudah berhasil melandaikan grafik kasus corona dan secara sangat hati-hati sudah menata kembali kehidupan ekonomi dan sosial lewat pelonggaran pembatasan sosial.
“Satu hal yang tidak boleh terjadi dalam upaya kita melawan pandemi ini adalah masyarakat mulai acuh dan tidak peduli akan bahayanya virus ini atau kehilangan sense of crisis atas situasi saat ini. Sikap ini berpotensi lahir jika masyarakat terus berada dalam situasi yang tidak pasti karena melihat upaya penanggulangan corona yang tidak kunjung menampakkan hasil signifikan atau terus terjadi lonjakan kasus. Untuk itu kita perlu energi dan semangat baru yang semuanya itu bisa terjadi jika Pemerintah mengevaluasi total strategi dan narasi penanggulangan corona,” tukas Fahira Idris, di Jakarta, Selasa (14/7).
Fahira memandang jika saja di awal-awal pandemi, strategi yang diutamakan Pemerintah Pusat adalah kebijakan tes massal, pelacakan, peningkatan komunikasi publik dan penggunaan teknologi informasi yang disertai kesiapan layanan kesehatan, kemungkinan besar pada Juli ini grafik kasus positif di Indonesia tidak hanya melandai tetapi juga bisa turun drastis.
Oleh karena itu, lanjutnya, lonjakan kasus yang terjadi di beberapa daerah saat ini tidak bisa hanya sepenuhnya menjadi tanggung jawab kepala daerah saja. Ini karena sesuai Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan COVID-19 sebagai Bencana Nasional, kebijakan kepala daerah dalam penanggulangan corona harus memperhatikan kebijakan Pemerintah Pusat. Jika kilas balik di masa awal-awal penerapan PSBB, beberapa kebijakan kepala daerah untuk mengefektifkan pembatasan sosial lewat pengetatan dan penghentian operasional transportasi harus terbentur dengan kebijakan Pemerintah Pusat yang malah melakukan pelonggaran transportasi. Kebijakan beberapa kepala daerah yang ingin melakukan karantina wilayah juga terbentur oleh kebijakan PSBB.
Selain itu, promosi new normal oleh Pemerintah Pusat di pertengahan Juni atau di saat grafik sama sekali belum melandai apalagi turun menjadi dilema bagi daerah-daerah yang merasa masih perlu melanjutkan PSBB. Ada kesan bahwa daerah yang mulai menerapkan new normal dengan melonggarkan berbagai pembatasan sosial dianggap berhasil tanggulangi corona. Di tataran masyarakat, diksi new normal disertai kebijakan pelonggaran pembatasan sosial juga disalahartikan sebagai fase di mana virus corona sudah dapat dikendalikan sehingga membuat kewaspadaan menurun.
“Saya sepakat istilah new normal ini diganti karena memang tidak tepat dengan kondisi Indonesia saat ini. Namun yang lebih penting dari semua itu adalah Pemerintah Pusat mengevaluasi total semua program penanggulangan corona baik strategi maupun narasinya. Saat ini masyarakat membutuhkan sebuah strategi baru dan narasi besar yang menggugah untuk membangkitkan optimisme dan agar tetap konsisten menjalankan protokol kesehatan,” pungkas Senator Jakarta ini.* [Syaf/voa-islam.com]