View Full Version
Kamis, 08 Oct 2020

UU Omnibus Jaminan Halal, IHW Nilai Negara Lucuti Kewenangan Ulama

JAKARTA (voa-islam.com)—Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah menyoroti pengesahan Undang-undang Cipta Kerja terkait klaster Jaminan Produk Halal.

“Dalam beberapa hal kita bersyukur hasil final dari RUU Cipta kerja terkait Jaminan Produk Halal mengalami perbaikan, khususnya dalam hal fatwa halal  telah diketok tetap menjadi kewenangan MUI,” kata Ikhsan dalam keterangannya kepada Voa Islam, Kamis (8/10/2020).

Namun, Ikhsan menyayangkan pada UU Cipta Kerja posisi MUI dalam konteks pelaksanaan Sistem Jaminan Halal seperti berada di bawah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (JPH).

"Secara keseluruhan, isu yang selama ini ramai diperdebatkan perihal ketentuan mengenai sertifikasi auditor halal, akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan ketentuan kerjasama dengan Lembaga Sertifikasi Halal Internasional serta Sistem Jaminan Halal memposisikan BPJPH menjadi badan yang super body, sekaligus menempatkan MUI seperti menjadi subordinat atau bawahan BPJPH dalam kontek Pelaksanaan Sistem Jaminan Halal," ungkap Ikhsan yang juga advokat publik ini.

Ikhsan mengkhawatirkan jika UU sapu jagat klaster Jaminan Produk Halal ini dapat berjalan lancar. Hal ini mengingat selama tiga tahun terakhir hubungan pimpinan BPJPH dengan MUI terjadi kekakuan.

“Akan tetapi bila yang terjadi kekakuan dan kebekuan seperti yang ditunjukkan Kepala BPJPH tiga tahun terahir ini, maka kami sangat khawatir UU Omnibus Law pada kluster Jaminan Produk Halal ini semakin sulit untuk dilaksanakan,” ujar Ikhsan.

Namun, jika hubungan BPJPH-MUI terjalin humanis dan tetap bersikap takzim kepada MUI sebagai representasi ulama, maka niscaya dapat memuluskan implementasi UU tersebut.

Kemudian, Ikhsan menyoroti ketentuan Pasal 35A ayat 2 UU Omnibus Law Cipta Kerja. Dikatakan Ikhsan, apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, maka  BPJPH dapat menerbitkan Sertifikat Halal.

“Ini dapat dikatakan Kekuasaan Negara mengkoptasi kewenangan ulama. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam sejarah perundangan-undangan di Indonesia, bahkan dimasa penjajahanpun Belanda tidak mau masuk ke wilayah yang sangat sensitif,” jelas Ikhsan.* [Syaf/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version