View Full Version
Rabu, 09 Dec 2020

Kebijakan Keamanan terhadap HRS Ekstrem, Wujud Islamofobia?

JAKARTA (voa-islam.com)--Kebijakan keamanan oleh aparat di negeri ini terhadap Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Syihab (HRS) dinilai sangat ekstrem. Padahal jika pun disebut pelanggaran, kerumunan yang terjadi di Petamburan, Jakarta Pusat, saat peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw pertengahan November 2020 lalu, adalah pelanggaran super ringan.

Apalagi, sesuai ketentuan Peraturan Daerah DKI Jakarta, atas terjadinya pelanggaran protokol kesehatan itu, pihak FPI juga sudah membayar denda maksimal yakni senilai Rp50 juta.

Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon menduga ada kebijakan Islamofobia di dalam rezim pemerintahan saat ini. Hanya ia masih mempetanyakan, sikap Islamofobia itu sudah menguasai rezim atau hanya diidap oleh segelintir oknum.

“Ada sebuah konstruksi, nanti kita lihat apa arahnya, apa kebijakan Islamofobia sudah menguasai rezim pemerintahan sekarang ini atau segelintir oknum saja,” ungkap Fadli Zon saat menjadi narasumber dalam Webinar "Penembakan Laskar FPI dalam Tinjauan Perspektif Hukum dan Demokrasi" yang digelar Center of Study for Indonesian Leadership (CSIL), Selasa, 8 Desember 2020.

Fadli merasa harus mempertanyakan hal itu, karena di dalam pemerintahan terdapat berbagai macam kepentingan. Baik kepentingan polisi, TNI, intelijen atau pemerintahan sendiri.

Fadli mengingatkan, sikap Islamofobia dengan menciptakan “permusuhan” terhadap Islam akan merugikan dan menciptakan instabilitas yang akan semakin memuncak. Sebab media sosial saat ini bisa menyampaikan berbagai macam berita dengan perspektif yang berbeda.

"Sekarang tidak bisa narasi pihak kemanan tentang tembak menembak jadi narasi tunggal. Begitu di-challenge FPI, bahwa ini sesungguhnya kejadiannya di situ sudah ada dua narasi besar," ungkap Waketum Partai Gerindra itu.

Fadli sendiri mengakui dirinya lebih mempercayai narasi yang disampaikan Front Pembela Islam (FPI), baik melalui Sekum FPI Munarman maupun pernyataan sikap dan kronologi yang disampaikan secara tertulis.

"Saya lebih percaya pada narasi yang disampaikan FPI dan Saudara Munarman maupun dari kronologi dalam rilis karena itu jauh lebih masuk akal," ungkap Fadli.

Sedangkan narasi yang dibangun aparat kepolisian, menurut Fadli sangat mudah untuk dibantah, apalagi disebutkan Laskar FPI menggunakan pistol, senjata tajam, dan lain-lain.

"Itu adalah cara klasik intelijen di masa lalu. Seperti halnya (kasus) narkoba, oknum melempar narkoba pada orang untuk dituduh sebaga (pengguna) narkoba," lanjutnya.

Fadli mengingatkan, narasi itu akan gagal dan tidak dipercaya masyarakat. Jika hal itu terjadi malah akan menimbulkan "public distrust" yang makin luas di masyarakat.

Bahkan akan memunculkan penilaian bila tindakan masyarakat kepada enam Laskar FPI merupakan bentuk "extra judicial killing", tindakan pembunuhan dan pembantaian. "Dan sudah sudah diakui bahwa yang melakukan itu aparat kepolisian," tambah Fadli.

Public distrust itu, lanjut Fadli, kemudian akan menciptakan "social movement" (gerakan sosial), yang merupakan manifestasi dari ketidakpercayaan publik kepada aparat. Kecuali ada penegakan hukum terhadap aparat yang terlibat dalam pembunuhan tersebut.

"Kalau tidak ada, ini akan sangat rawan sekali, masyarakat akan tanya dimana keadilan," kata Fadli.

 

FPI Luruskan Narasi Polisi

Wakil Sekretaris Front Pembela Islam (FPI) Aziz Yanuar yang turut hadir dalam Webinar, secara khusus meluruskan narasi tentang Laskar Khusus (Laksus) yang belakangan ini dipahami secara negatif. Laksus seolah adalah laskar khusus yang berbeda dengan laskar FPI secara umum dan boleh membawa senjata api.

"Laksus itu laskar khusus yang bertugas mengawal Habib Rizieq Syihab dan keluarganya. Artinya tak ada urusan dengan senjata api," ungkap Aziz.

Anggota Laksus, kata Yanuar, sebagaimana Laskar Pembela Islam (LPI) secara umum juga terikat dengan larangan membawa apalagi menggunakan senjata api dan senjata tajam.

Karena itu pengacara FPI ini menyesalkan adanya narasi negatif terhadap enam Laksus yang gugur akibat tembakan polisi, Senin dinihari (7/12) kemarin. "Kita sesalkan narasi-narasi terhadap almarhum, sudah meninggal dunia difitnah pula," kata Aziz.

Menurut Aziz, kekejaman ganda seperti itu jarang terjadi. Menurutnya, hal itu hanya terjadi di Israel dan Indonesia saja. "Kekejaman ini jarang terjadi, salah satunya di Israel, salah duanya di Indonesia," selorohnya..

Aziz juga meluruskan tentang rekaman voice note percakapan para pengawal HRS yang disebarkan oleh pihak tertentu. Menurut Aziz, hingga Selasa siang, pihak FPI dan keluarga belum mengetahui keberadaan enam jenazah, alat komunikasi dan kendaraan mereka. Karena itu ia menduga voice note itu disebarkan oleh pihak yang melakukan penembakan.

"Tugas laskar itu mengawal, siapapun pengawal, satpam yang baru lulus kemarin sore pun saya yakin nalurinya sama. Melindungi yang harus dilindungi dan mengawal yang harus dikawal," kata dia.

Karena itu, walaupun di dalam voice note itu ada ungkapan "tabrak saja..tabrak saja", kata Aziz, hal itu diucapkan karena ada penghadangan atas konvoi rombongan. "Ada konvoi mau dihadang, pasti ada reaksi," kata dia.

Aziz mengingatkan, bahwa pihak yang melakukan penghadangan rombongan HRS tidak mengenalkan dirinya sebagai aparat polisi. Mereka juga tidak berperilaku sebagai penegak hukum, tanpa identitas dan menggunakan kedaraan sipil.

"Jadi kalau narasinya para Laskar menyerang polisi, mana tahu kalau itu polisi?," kata Aziz.

Selanjutnya, Aziz juga meluruskan adanya narasi bila polisi sedang memantau adanya pergerakan massa ke Jakarta karena HRS hendak diperiksa di Pold Metro Jaya. Padahal HRS dan rombongan keluarga hendak pergi ke Karawang, menuju tol Jakarta-Cikampek.

"Narasinya mau ada massa masuk ke dalam. Tipu daya ini tidak relevan, pemutarbalikkan fakta ini tidak pada tempatnya," kata dia.

Mengenai tuduhan adanya upaya para pengawal HRS hendak menabrak mobil aparat polisi, menurut Aziz hal iti hanya sebagai ancaman belaka. Pasalnya tidak ada mobil penguntit yang mengalami kerusakan. Juga tidak ditemukan serpihan-serpihan bila terjadi serangan terhadap aparat.

"Kita menduga, kawan-kawan yang syahid dibawa ke suatu tempat setelah dipepet kemudian dihabisi," kata dia.

Aziz menyebut, penembakan terhadap enam laskar FPI itu sebagai "extra judicial killing" terhadap rakyat Indonesia. Sebab mereka adalah warga negara yang hak-haknya masih dilindungi UU.

Sebelumnya, Pengurus CSIL HM Mursalin dalam sambutannya mengatakan, menghadapi berbagai peristiwa belakangan ini umat Islam Indonesia harus bersatu. Secara bersama-sama, dengan rakyat secara keseluruhan, menyelamatkan Indonesia.

“Ada komprador yang ingin menghancurkan negeri kita. Kita harus bersama rakyat untuk melakukan perjuangan ini,” kata dia.

Terkait peristiwa pembunuhan terhadapenam Laskar FPI, Mursalin meminta agar Presiden Jokowi segera mengeluarkan klarifikasi dan membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Independen.* [Ril/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version