Dengan demikian tindakan mematikan itu “unprocedural”, tidak melalui prosedur yang sah,” tegasnya.
JAKARTA (voa-islam.com)--Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Dr. Mudzakir, SH, MH mempertanyakan alasan apa sehingga terjadi pembunuhan terhadap enam anggota Front Pembela Islam (FPI).
“Enam anggota (FPI) ini ditembak mati disebabkan karena melakukan kejahatan apa?” tanya Mudzakir dalam Webinar yang digelar Centre of Study for Indonesian Leadership (CSIL), Selasa malam (29/12/2020).
Ahli hukum pidana itu mengatakan, berdasarkan sejumah fakta hukum yang disampaikan berbagai pihak, ia mengaku belum mendapatkan kejelasan atas alasan apa mereka ditembak.
Mudzakir juga mempertanyakan, kejahatan apa yang hendak dilakukan Habib Rizieq Syihab (HRS) sehingga pengawalnya harus ditembak mati? Jika di media disebutkan oleh polisi bahwa HRS akan menggerakkan massa, kata dia, massa itu untuk apa. Sebab jika menggerakkan massa untuk unjuk rasa itu bukan merupakan sebuah kejahatan. Sebab unjuk rasa atau demonstrasi adalah konstitusional. Sehingga tidak boleh ada tindakan mematikan apapun.
“Dengan demikian tindakan mematikan itu “unprocedural”, tidak melalui prosedur yang sah,” tegasnya.
Mudzakir juga menyebut tindakan mematikan terhadap para pengawal HRS sebagai tindakan yang berlebihan alias “overestimate”. Ia mengibaratkan, penembakan itu seperti dilakukan terhadap pelanggar lalu lintas. Hanya karena melanggar lalu lintas, satu mobil yang berisi satu keluarga ditembak mati semua.
Mudzakir mengingatkan, agar polisi menggunakan wewenang yang dimilikinya sesuai dengan prosedur, maksud dan tujuannya. “Tindakan mematikan kepolisian itu menunjukkan tindakan yang diluar prosedur, menyalahgunakan wewenang,” kata dia.
Sementara itu, Mantan Penasehat KPK Abdullah Hehamahua mendorong Komnas HAM untuk mengusut tuntas kasus kematian enam anggota FPI tersebut. Bahkan menurutnya, kasus ini perlu juga di bawa ke mahkamah internasional.
"Bila perlu ke mahkamah internasional kalau ternyata Komnas HAM ada keterbatasan sehingga tidak bisa berbuat jauh kecuali hasil rekomendasinya diberikan kepada preseden dan Jaksa Agung," kata Abdullah yang juga menjadi narasumber dalam webinar CSIL.
Menurutnya, kasus ini harus diusut tuntas agar ke depan tidak terjadi lagi hal serupa. "Kalau hal ini dibiarkan sampai lepas, lepas dari kontrol seluruh bangsa indonesia bahkan kontrol dari dunia internasional maka ini akan menjadi preseden buruk untuk masa depan," jelasnya.
Hal senada juga disampaikan pimpinan CSIL HM Mursalin, pihaknya berharap kasus ini bisa diusut tuntas. "Tragedi KM 50 sudah berlangsung sekitar tiga minggu namun belum terkuak seutuhnya walaupun sudah menjadi pembicaraan luas di masyarakat dan mereka berharap kasus ini bisa terungkap secara terang benderang," jelasnya.
"Karena itulah CSIL terpanggil untuk bisa berperan dalam menghadirkan opini yang menguatkan dengan menghadirkan para pakar," tambah Mursalin.
Sebelumnya, kata Mursalin, sejumlah tokoh dari CSIL dan ormas Islam sudah mendatangi dan mendorong Komnas HAM dalam mengusut tuntas kasus ini. "Diharapkan Komnas HAM untuk mengusut tuntas kasus ini karena bukan saja untuk membela kemanusiaan dalam kasus enam laskar ini tetapi membela masa depan kita supaya hal ini tidak terjadi lagi," jelasnya.
Dalam acara Webinar tersebut, hadir pula orang tua korban dari enam laskar FPI. Kehadiran mereka untuk bersilaturahim sekaligus memberi sambutan dalam acara itu.
Syuhada perwakilan dari keenam orang tua korban berharap, keadilah hukum bisa ditegakkan dan pelaku pembunuhan anaknya bisa dihukum. "Besar harapan kami kasus ini terus difokuskan agar terungkap kebenarannya sehingga pelaku dan otaknya bisa terungkap dan mereka bisa diadili dengan seadil-adilnya," ujar Syuhada.
Selain Mudzakir dan Abdullah Hehamahua, dalam Webinar tersebut hadir pula narasumber lainnya yaitu Dr. Hamdan Zoelva SH MH (Mantan Ketua MK), Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty Internasional), Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) Mahendradatta dan lainnya.* [Ril/voa-islam.com]