BANDUNG (voa-islam.com) - Publik sulit mencerna atas demonstrasi vulgar dari ego kekuasaan yang ditampilkan rezim Jokowi. Otoriterism lebih tampak sebagai pilihan dibanding pendekatan dialogis.
Demikian disampaikan Direktur The Community Islamic of Ideological Anlyst (CIIA) Harits Abu Ulya menanggapi keputusan Pemerintah yang membubarkan Ormas Islam Front Pembela Islam (FPI).
"Pendekatan kekuasaan dan kekuatan dipakai untuk mengeliminasi kelompok oposan. Nalar publik dipaksa tumpul karena dipaksa menerima 'amunisi-amunisi kekuasaan' yang dihamburkan ke ruang publik," katanya kepada Voa Islam, Kamis (31/12).
Pasca penguasa melarang, kata Harits, FPI untuk eksis tinggal ganti nama Front Pejuang Islam atau Front-Front lainnya.
"Berjuang amar makruf nahi mungkar secara prinsipil sudah dapat legitimasi dari langit. Soal legal formal dari rezim tidak menjadi sarat atau sebab mutlak berhenti atau berjalan serta berputarnya aktifitas amar makruf nahi mungkar," jelasnya
"Ini kewajiban mulia, baik dalam kondisi rezim yang baik maupun rezim yang dzalim. Tugas mulia nan berat semua Rasul dan Nabi adalah amar makruf nahi mungkar. Demikianpun umat beriman di akhir zaman, kewajiban agung ini perlu pengorbanan," lanjuynya
Menurut Pengasuh Ponpes Tahfidz Al-Qur'an Al-Bayan itu, beruntunglah orang-orang yang konsisten di jalan mulia ini. Dan merugilah orang-orang yang memusuhinya siapapun dia.
"Karena perhitungan di sisi Tuhan pencipta mereka semua sangatlah berat tiada terkira," tuturnya.
"Kita semua hidup Tuhan yang menciptakan, hidup dengan rezeki-Nya dan pasti mati kembali kepada-Nya dengan segenap tanggung jawab yang akan dihisabnya. Dan tidak ada sedikit pun kejahatan orang-orang dzalim yang luput dari pengadilan Sang Maha Adil," ujarnya. [syahid/voa-islam.com]