JAKARTA (voa-islam.com)--Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) drh Slamet membantah pernyataan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang meyakini kebijakan impor beras 1 juta ton di 2021 tidak akan menghancurkan harga gabah di tingkat petani.
“(Impor) ini bagian dari strategi memastikan harga stabil. Percayalah tidak ada niat pemerintah untuk hancurkan harga petani terutama saat sedang panen raya,” ujar Lutfi dalam konferensi pers virtual, Senin, 15 Maret 2021 dikutip dari Kompas.
Slamet mengatakan, pernyataan Menteri Perdagangan tersebut tidak masuk akal alias ngawur. Sebab, saat ini saja, sebelum impor benar-benar dilakukan, harga gabah di tingkat petani sudah jatuh hingga ke harga Rp 3.700, jauh di bawah harga pokok penjualan atau HPP.
“Apalagi nanti di saat panen raya dan beras impor benar-benar masuk pasar, maka kondisi melimpah itu akan semakin berdampak pada penurunan harga gabah petani,” katanya kepada media, Selasa, (16/03/2021).
Legislator asal Sukabumi ini mengungkapkan, tidak sepatutnya keputusan impor beras menjadi wewenang Kementerian Perdagangan. Slamet menilai, seharusnya persoalan kebijakan impor menjadi kewenangan Kementerian Pertanian.
“Dan dibuat transparan sehingga tidak terjadi spekulasi terus-menerus seperti sekarang” tegasnya.
Sebelum memutuskan impor, Kementerian Pertanian harus memasok data prognosa produksi padi selama tiga hingga enam bulan ke depan kepada Badan Pusat Statistik, berdasarkan laporan dari setiap daerah sesuai siklus tanam padi. Termasuk memperhitungkan pengaruh iklim dan kemungkinan hama.
Kemudian atas laporan tersebut, Badan Pusat Statistik menerbitkan data prognosa panen padi selama tiga hingga enam bulan bulan ke depan, ditambah stok berjalan di Bulog.
“Sehingga jumlahnya menjadi dasar bagi keputusan perlunya impor atau tidak,” jelas Slamet.
Slamet meminta Presiden Joko Widodo menunjukkan keberpihakannya terhadap nasib petani yang kehidupannya bergantung pada hasil panen dan beras impor. Jika panen gagal, maka mereka tidak memiliki padi untuk dijual. Namun jika panen berhasil, harga justru turun karena beras melimpah di pasar.
“Lebih tidak logis lagi, jika panen berhasil, beras melimpah, pemerintah melakukan impor. Kebijakan yang ngawur ini menunjukkan arogansi pemerintah yang tidak pro-rakyat,” katanya.
Sementara di sisi lain, saat ini muncul pula rencana pemusnahan 167 ribu ton beras oleh pemerintah. Slamet menyebut, hal itu sebagai akibat kebijakan pemerintah yang berstandar ganda.
“Pembelian uang ini pakai uang rakyat, tapi dengan mudahnya akan dimusnahkan karena tidak terpakai. Tapi di saat yang sama masih banyak masyarakat yang membutuhkan,” pungkasnya.* [Ril/voa-islam.com]