JAKARTA (voa-islam.com)--Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf menghadiri webinar yang diselenggarakan Ikatan Ahli Bencana Indonesia (IABI) sebagai pembicara kunci, Rabu (19/5/2021). Di awal diskusi, Bukhori memaparkan riwayat pembahasan RUU Penanggulangan Bencana (PB) yang telah dimulai sejak periode 2014-2019.
Ia mengungkapkan, RUU ini semestinya menjadi RUU Carry Over karena pembahasannya telah dimulai sejak lama. Namun karena tidak ada kesempatan, akhirnya pembahasan RUU itu terpaksa dimulai dari awal. Belakangan, RUU ini telah melalui harmonisasi dan ditetapkan sebagai RUU usulan DPR.
Anggota Panitia Kerja (panja) RUU PB ini menyatakan, terdapat dua hal mendasar yang menjadi perdebatan antara DPR dan pemerintah. Pertama, pemerintah sepakat untuk mengubah RUU ini, tetapi tidak setuju bila nomenklatur BNPB diatur dalam undang-undang sebagaimana yang dikehendaki oleh DPR. Kedua, DPR menghendaki anggaran kebencanaan menjadi mandatory spending yang nominalnya sekurang-kurangnya 2% dari APBN/APBD. Akan tetapi, pemerintah tidak sejalan dengan kehendak DPR.
“Pemerintah masih memandang isu bencana sebagai peristiwa eventual. Padahal, bencana sudah menjadi DNA dalam negeri kita dan tidak bisa ditangani secara eventual melalui pembentukan kepanitiaan ad hoc sebagai penyelenggara penanggulangan bencana. Cara pandang seperti ini jelas berbahaya karena tidak menunjukan sense of crisis terhadap isu bencana,” paparnya.
Alhasil, untuk memperkuat lembaga yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana maka dibutuhkan suatu badan yang dibentuk atas dasar undang-undang, bukan peraturan presiden sebagaimana usulan pemerintah, lanjut Bukhori. Sebab itu Fraksi PKS memandang perlu penyebutan BNPB secara eksplisit dalam RUU Penanggulangan Bencana.
Selain itu, dalam undang-undang yang baru juga akan dimasukan terkait sistem komando yang lebih komprehensif supaya ada kejelasan terkait penanggung jawab penanggulangan bencana. Bukhori mengatakan, undang-undang yang baru akan menempatkan BNPB sebagai koordinator utama dalam mengkoordinasikan seluruh proses mitigasi dan penanganan bencana.
“RUU ini diharapkan akan memperkuat aspek mitigasi bencana demi memperkecil potensi korban jika terjadi bencana, salah satunya dengan menjadikan BNPB sebagai koordinator utama. Kendati begitu, bukan berarti akan menghilangkan atau menarik fungsi kementerian/lembaga terkait dengan mitigasi bencana. Tetapi, justru memperkuat sinergi antara kementerian/lembaga,” terangnya.
Anggota Baleg ini juga menerangkan alasannya bersikeras meminta alokasi anggaran sekurang-kurangnya 2% dari APBN/APBD. Dari hasil tinjauan dan serap aspirasinya di daerah, politisi PKS ini mendapati sejumlah kabupaten dan kota memiliki anggaran yang sangat minim untuk penanggulangan bencana.
“Sejumlah pemerintah daerah masih memandang remeh alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana. Misalnya, dari temuan saya di daerah, ada yang hanya mengalokasikan Rp 1 miliar per tahun. Mirisnya, bahkan ada yang tidak punya anggaran sama sekali,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Anggota MPR ini menjelaskan bahwa filosofi yang dibangun melalui RUU ini adalah demi mewujudkan model penanganan bencana yang bersifat antisipatif. Hal ini sejalan dengan tujuan Fraksi PKS yang memaknai penyusunan RUU Penanggulangan Bencana sebagai ikhtiar untuk menyempurnakan amanat UUD 1945 alinea keempat, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
“Keterlambatan kita dalam memitigasi akan menghilangkan kesempatan masyarakat kita untuk bisa hidup dengan selamat,” imbuhnya.
Masih dalam kesempatan yang sama, Ketua DPP PKS ini menerangkan, RUU Penanggulangan Bencana akan menawarkan landscape baru sebagai basis perencanaan nasional. Peta bencana nasional yang disusun oleh BNPB akan didorong menjadi bahan pertimbangan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam menyusun rencana pembangunan nasional jangka panjang, menengah, dan pendek.
“Kami ingin pastikan bahwa pembangunan nasional kita dibangun dengan gagasan mitigatif, yakni pembangunan yang mengedepankan aspek keselamatan jiwa dengan meminimalisir risiko dari dampak bencana. Dengan demikian, Bappenas harus mempertimbangkan aspek potensi kebencanaan dalam mendesain rencana pembangunan nasional,” pungkasnya.* [Syaf/voa-islam.com]