JAKARTA (voa-islam.com)--Anggota Komisi V dari Fraksi PKS DPR RI, Suryadi Jaya Purnama, memperjuangkan penolakan pemindahan ibu kota yang tercantum dalam Rancanan Undang-Undang Ibu Kota Negara.
RUU IKN tersebut dipandang oleh Suryadi bukan sebagai agenda mendesak, terutama ditengah kondisi perekonomian Indonesia yang belum stabil akibat pandemi Covid-19.
“Kalaupun kondisi pandemi ini menurun, seharusnya itu menjadi kesempatan pemerintah untuk ‘recovery’ perekonomian Indonesia, buat kebijakan yang tepat. Jangan gegabah dalam melangkah” tandas Legislator Fraksi PKS tersebut.
Dalam pembahasan internal pemerintah, pemerataan pembangunan menjadi salah satu alasan untuk memindahkan ibu kota. BAPPENAS mengklaim bahwa pihaknya sudah melakukan kajian, namun sangat disayangkan, naskah akademik tersebut tersebut tidak dapat dipelajari terlebih dahulu oleh publik.
“Negara ini milik bersama, pemerintah seharusnya tidak bersikap autis terutama menyangkut kebijakan strategis. Semua masyarakat tentu ingin mengetahui apa permasalahan di Jakarta? Apa dosa Jakarta?” ujar Suryadi dalam wawancara PKS Legislative Corner (8/10/2021).
Di sisi lain, PKS juga sudah melakukan kajian serta pendalaman terkait isu tersebut dan belum melihat adanya prioritas dan kepentingan untuk memindahkan ibu kota. Ditambah dengan biaya anggaran yang tidak sedikit. Angka 490 triliun barulah itungan kebutuhan pemerintah, namun dalam realisasinya bisa menjadi 2-3x lipat. Contohnya dalam proyek kereta cepat Bandung-Jakarta yang pada perhitungan awalnya hanya 60 triliun namun kini realisasinya mencapai lebih dari 100 triliun.
“Dalam kondisi saat ini, pemulihan sektor ekonomi dan kesehatan seharusnya menjadi agenda prioritas, bukan yang lain. Pemerintah belum memenuhi standar prosedur aturan perundangan untuk memutuskan kebijakan krusial. Kajian-kajian resmi yang melibatkan publik belum ada. Terutama kajian mengenai Jakarta dan lokasi pemindahannya.” Suryadi menambahkan.
Keputusan Fraksi PKS sudah bulat untuk menolak RUU IKN tersebut setelah mengkaji aspek permasalahan secara makro dan mikro. Selain dari segi prosedur yang mana pembahasan kebijakan dilakukan secara tertutup, segi substantif dari kebijakan tersebut juga menjadi pertimbangan. Yakni dalam mendiagnosa permasalahan secara objektif.
“Permasalahan dampak pandemi masih belum menemukan titik terang dan itu menjadi kebutuhan mendesak. Maka apabila berdasarkan fakta empiris Jakarta masih dianggap layak, mengapa harus melakukan pemborosan yang berujung pada menambah beban negara?” tegasnya.*[Ril/voa-islam.com]