View Full Version
Rabu, 22 Dec 2021

Stafsus Menag Bantah soal Edaran Spanduk Natal, Bukhori: Jangan Kembali Bikin Gaduh

JAKARTA (voa-islam.com)--Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf mengapresiasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel), melalui Sekretaris Daerah-nya, atas kinerja positif dalam menuntaskan polemik yang sempat menimbulkan ketegangan di tengah umat beragama akibat edaran ‘pasang spanduk natal’ yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Kantor Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan (Kemenag Kanwil Sulsel) pada 14 Desember 2021 silam. 
 
Selain itu, Bukhori turut mengapresiasi sikap Kemenag Kanwil Sulsel yang bersedia mencabut edaran tersebut sebagai respons terhadap aspirasi yang dilayangkan oleh elemen masyarakat setempat.
 
Keterangan terkait pencabutan edaran dari Kemenag Kanwil Sulsel tertera dalam surat yang diterbitkan oleh Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Sulawesi Selatan (Prov. Sulsel) bernomor 003.2/12586/B.Kesra tertanggal 16 Desember 2021 yang ditandatangani langsung oleh Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Abdul Hayat. 
 
Disebutkan dalam surat tersebut, hasil dari musyawarah antara Setda Prov. Sulsel dan Kemenag Kanwil Sulsel adalah Kepala Kemenag Kanwil Sulsel menyatakan telah mencabut edaran terkait dan berharap agar tidak ada tindak lanjut oleh satuan kerja Kemenag di struktur bawah perihal imbauan untuk memasang spanduk ucapan natal dan tahun baru sebagaimana tertera dalam edaran sebelumnya.
 
“Apa yang dilakukan oleh Pemprov Sulsel dan Kemenag Kanwil Sulsel patut diapresiasi sebagai sikap negarawan. Mereka telah menunjukan tindakan responsif yang mengutamakan kemaslahatan, kerukunan, dan penghargaan terhadap local values di atas kepentingan lembaga. Hal itu sekaligus mencerminkan keberadaan Negara yang hadir di tengah umat beragama dan komitmennya dalam memelihara harmoni di tengah keragaman,” ucap Bukhori di Jakarta, Rabu (22/12/21).
 
Anggota Komisi Agama DPR itu mengatakan, eksistensi lembaga negara di tengah masyarakat diharapkan dapat menghadirkan kemaslahatan melalui kebijakan yang ditelurkan. Sebaliknya, jika kebijakan yang dihasilkan tersebut menyinggung wilayah sensitif dan bertentangan dengan norma/adat/nilai lokalitas yang telah lama hidup di tengah masyarakat sehingga membuah protes dari banyak kalangan, maka sudah semestinya lembaga negara itu melakukan evaluasi.
 
“Dalam menjalankan roda pemerintahan, penyelenggara negara mesti memperhatikan norma maupun nilai yang dapat bersumber dari agama, budaya, ataupun adat istiadat masyarakat setempat. Segala program kerja yang telah disusun oleh pemerintah pusat tidak bisa secara serta merta diimplementasikan sebelum ditelaah dengan bijak dan dipadupadankan dengan kearifan lokal masyarakat setempat,”jelasnya. 
 
Begitupun terkait edaran yang mengimbau pemasangan spanduk natal oleh satuan kerja Kemenag Kanwil Sulsel yang justru membidangi urusan umat Islam, demikian sambung Bukhori. Jika motif dari penerbitan edaran tersebut adalah perwujudan dari turunan program moderasi beragama yang diusung oleh Menteri Agama, maka tidak sewajarnya konten dalam edaran tersebut menyinggung wilayah prinsip keyakinan setiap muslim yang bernaung di bawah satuan kerja terkait karena berpotensi melanggar konstitusi dan HAM.  
 
“Pertanyaan sederhana, kenapa edaran tersebut tidak ditujukan bagi lembaga atau sekolah umat kristiani yang berada di bawah naungan Kemenag? Alih-alih dialamatkan kesana, yang dilakukan justru sebaliknya. Apa tidak salah alamat?,” sindirnya.
 
Menurut politisi PKS itu, Kemenag Kanwil Sulsel tidak boleh memanfaatkan relasi kuasanya untuk memaksa institusi di bawahnya dalam perkara keyakinan karena bertentangan dengan mandat konstitusi dan HAM. Pasal 28E UUD 1945, bebernya, melindungi setiap orang untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya serta meyakini kepercayaan sesuai dengan hati nuraninya. Kemudian dalam Pasal 29 UUD 1945 kembali ditegaskan bahwa Negara menjamin kemerdekaan penduduknya untuk beribadat menurut agama dan kepercayannya masing-masing.
 
Lebih lanjut, Legislator Dapil Jawa Tengah 1 itu juga menyayangkan komentar Staf Khusus Menteri Agama, Nuruzzaman, yang menyangkal pencabutan edaran Kemenag Kanwil Sulsel ketika polemik telah mereda. Bukhori menyebut ucapan Staf Khusus Menteri Agama itu mengancam rekonsiliasi yang sudah terbangun dan berpotensi memunculkan kegaduhan baru.
 
“Jangan kembali buat gaduh. Kendati Kemenag Kanwil Sulsel merupakan lembaga vertikal yang bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat, dia (Staf Khusus Menag) mesti paham bahwa kedudukan Kemenag Kanwil Sulsel berada pada wilayah hukum dan administratif Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan begitu, Kemenag juga patut bertanggung jawab dalam menjaga stabilitas dan tatanan sosial di sana, serta menghormati kebijakan yang sudah ditetapkan oleh tuan rumah. Lagipula, mereka (pemerintah daerah Sulsel) lebih paham dengan apa yang dibutuhkan dan bagaimana semestinya memitigasi risiko yang mengancam stabilitas sosial di wilayah mereka,” tegasnya. 
 
Di sisi lain, Anggota Badan Legislasi DPR itu mengatakan, dirinya sepakat bahwa Kementerian Agama adalah milik semua agama yang diakui oleh negara dan wajib melayani, melindungi, dan menjaga mereka. 
 
“Walaupun demikian, tugas pelayanan tersebut tidak boleh ditafsirkan secara dangkal dan pragmatis sehingga mengorbankan kepentingan umat agama lain. Pelayanan kepada umat beragama juga harus dilakukan secara adil dan moderat, tanpa memoderasi agama dari umat lain,”  bebernya. 
 
Politisi yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Tsamratul Hidayah Jepara itu menerangkan, terdapat perbedaan mendasar antara moderasi beragama dan moderasi agama. 
 
“Moderasi beragama bukan moderasi agama, itu adalah dua hal yang berbeda. Moderasi agama berakibat pada berubahnya syariat, ajaran, atau keyakinan agama, sedangkan moderasi beragama adalah sikap moderat dalam berperilaku agama,” ucapnya.
 
Alumnus Universitas Islam Madina Arab Saudi itu lantas mengaitkan perbedaan keduanya dalam konteks ucapan selamat natal. Menurutnya, tidak ada korelasi antara orang yang mengucapkan selamat natal sehingga disebut moderat atau dianggap keluar dari agama, sedangkan yang tidak mengucapkannya kemudian disebut radikal atau intoleran.
 
“Dalam kaitannya dengan ucapan selamat natal, itu dikembalikan kepada pribadi masing-masing mengingat hal itu tidak boleh dipaksakan dalam hal mengucapkannya atau tidak mengucapkannya. Dengan begitu, tidak ada kaitannya jika mengucapkannya (selamat natal) disebut moderat atau keluar dari agama, sementara jika tidak mengucapkannya lantas disebut radikal atau intoleran,” tegasnya. 
 
Mantan Ketua IPNU Jepara itu menambahkan, selain moderasi beragama, moderasi bernegara juga merupakan hal esensial yang perlu dimiliki oleh setiap penyelenggara negara. Salah satunya, imbuhnya, sikap penghormatan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan oleh masing-masing penyelenggara negara sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi dan ketentuan perundang-undangan.
 
“Sikap bernegara yang ekstrem akan melahirkan fasisme. Fasisme memiliki watak arogan, memaksakan kehendak, egois, dan anti keragaman. Setiap penyelenggara negara harus menghindari penyakit ideologis itu dengan berbekal moderasi bernegara. Moderasi bernegara akan mendorong pada demokratisasi dan menempatkan kemaslahatan rakyat sebagai kepentingan tertinggi,” pungkasnya.*[Syaf/voa-islam.com]

latestnews

View Full Version