JAKARTA (voa-islam.com)--Memasuki akhir tahun 2021, Anggota DPR RI Fraksi PKS Bukhori Yusuf menyampaikan evaluasi terhadap kebijakan pemerintah sepanjang tahun 2021. Bukhori menyoroti beberapa janji Presiden Jokowi yang dinilai masih jauh dari realisasi selama dua periode kepemimpinan.
Pertama, Anggota Komisi VIII DPR RI itu menagih janji Presiden terkait susunan kabinet yang ramping saat pilpres 2014 lalu. Bukhori lantas menyandingkan janji tersebut dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 tahun 2021 tentang Kementerian Sosial dimana dalam Perpres tersebut mengatur soal jabatan Wakil Menteri Sosial.
Anggota DPR yang bermitra dengan Kementerian Sosial itu mengatakan, selain membuat postur kabinet semakin gemuk, posisi wakil menteri dinilai belum mendesak. Apalagi, dalam keterangannya belum lama ini, Menteri Sosial Risma mengaku posisi wakil menteri di instansinya bukan atas dasar keinginannya, melainkan atas kewenangan Presiden.
“Bu Risma sudah cukup responsif dan menguasai setiap persoalan di Kementerian Sosial. Di sisi lain, kewenangan wakil menteri juga terbatas karena tidak mungkin dapat mengambil keputusan strategis bersama DPR. Kemudian dari segi koordinasi dan operasional, kinerja menteri sebenarnya telah terbantu dengan adanya sekjen, dirjen, maupun stafsus. Walhasil, posisi wamen ini patut dipersoalkan, karena selain akan berdampak pada pemborosan anggaran di saat kondisi APBN sedang kritis, adanya posisi itu semakin menunjukan Presiden Jokowi yang semakin menjauhkan perbuatannya dari apa yang pernah dijanjikan pada 2014 lalu, yaitu membentuk susunan kabinet yang ramping,” jelas Bukhori di Jakarta, Kamis (30/12/21).
Kedua, politikus PKS itu menyoroti lemahnya komitmen Presiden Jokowi terhadap pemberantasan korupsi. Bukhori menyebut dicopotnya dua menteri Kabinet Indonesia Maju lantaran tersandung kasus korupsi sepanjang tahun 2021 sebagai pukulan telak bagi janji antikorupsi yang pernah diucapkan saat perhelatan pilpres 2019 lalu. Menurutnya, perbuatan keji yang melibatkan dua anak buah Presiden itu sebagai pengkhianatan terhadap janji politik, bahkan kepercayaan rakyat.
“Kasus korupsi bansos dan suap benur di saat pandemi barangkali menjadi sejarah kelam yang pernah ditorehkan oleh rezim dalam kaleidoskop 2021. Publik sulit melupakan peristiwa yang memalukan dan menyakiti hati itu,” tegasnya.
Anggota yang pernah duduk di Komisi Hukum itu mengamini bahwa kinerja kinerja pemerintah dalam memberantas KKN relatif melemah. Salah satunya tercermin dari Survei Nasional Kompas pada Oktober 2021 yang menunjukan apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah dalam memberantas KKN turun di angka 57,8 persen dibandingkan survei sebelumnya pada April 2021 yang berada di angka 63,6 persen. Transparency International juga mencatat, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mengalami kemerosotan dari skor 40/100 pada 2019 menjadi 37/100 pada 2020.
Bukhori menambahkan, sikap pasif Presiden atas berbagai kemelut yang menimpa lembaga antirasuah hingga skandal korupsi bansos maupun bisnis PCR yang menyeret sejumlah nama menteri aktif turut berkontribusi terhadap anjloknya kepercayaan publik terhadap janji pemerintah dalam memberantas praktik KKN.
Politisi PKS itu juga mengaitkan lemahnya komitmen pemerintah dalam mengatasi KKN dengan ketentuan Presidential Treshold (PT) 20 persen. Bukhori memandang PT 20 persen berisiko membuka celah bagi terjadinya praktik korup yang sistematis dan masif jelang penyelenggaran pemilu 2024 lantaran risiko biaya politik (political cost) yang tinggi.
“Ambang batas 20 persen akan memunculkan politik transaksional, dimana ini hanya akan menyuburkan dominasi oligarki yang sarat dengan praktik KKN. Daulat rakyat musykil tercapai jika Presiden diam saja melihat risiko perburukan demokrasi akibat ulah oligark tersebut. Karena itu saya mendukung Presiden Jokowi berani mengambil inisiatif untuk mendorong PT ke angka yang moderat demi mengantisipasi risiko praktik KKN dalam perhelatan pemilu 2024. Seminimalnya, itu akan menjadi warisan demokrasi yang kelak dikenang positif oleh publik jika berhasil terealisasi,” ucapnya.
Ketiga, Bukhori mempertanyakan janji Presiden Jokowi untuk tidak menambah utang baru. Janji itu disampaikan pihaknya ketika maju sebagai calon presiden pada 2014 silam. Namun demikian, Bukhori menganggap janji tersebut palsu. Pasalnya, memasuki periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi, utang negara justru semakin berada pada titik yang mengkhawatirkan.
Dalam Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan 1 tahun 2021, BPK memberi peringatan atas lonjakan utang pemerintah yang hingga akhir tahun 2020 menyentuh Rp6.074,56 triliun. BPK menilai kerentanan utang pemerintah telah melewati batas rekomendasi IMF mengingat rasio utang terhadap pendapatan pemerintah berada di atas ambang batas wajar, yakni 46,7 persen. Padahal, idealnya adalah 30 persen.
Laporan dari lembaga riset keuangan di Amerika Serikat, AidData, juga menyebut Indonesia diperkirakan memiliki utang tersembunyi kepada Pemerintah Cina sebesar Rp245 triliun. Bukhori mengatakan, walaupun utang tersebut masuk melalui BUMN untuk membiayai pengerjaan proyek mercusuar pemerintah, bila perusahaan plat merah itu gagal melunasinya, maka APBN yang akan kena getahnya.
“Proyek mercusuar pemerintah yang berdampak pada bertambahnya beban utang negara bertolak belakang dengan janji Presiden yang pernah diucapkan. Nafsu untuk meninggalkan warisan pembangunan semestinya tidak menimbulkan beban baru bagi rakyat maupun generasi mendatang akibat tumpukan utang yang kian menggunung,” kritiknya.
Di tengah kondisi APBN yang defisit, demikian Bukhori melanjutkan, sudah semestinya pemerintah lebih bijaksana dan efektif dalam mengelola anggaran negara. Selain untuk menghindari bertambahnya beban utang baru, pemerintah diharap lebih peka dengan kondisi fiskal dan memperhatikan kesinambungan anggaran bagi kebijakan subsidi kelompok masyarakat rentan.*[Syaf/voa-islam.com]