View Full Version
Ahad, 02 Jan 2022

HNW Kritisi Penetapan Majelis Masyayikh Pesantren Oleh Menag

JAKARTA (voa-islam.com) — Anggota Komisi VIII DPR RI sekaligus Wakil Ketua MPR RI Dr. HM. Hidayat Nur Wahid, MA mengkritisi penetapan anggota Majelis Masyayikh sesuai UU Pesantren oleh Menteri Agama, setelah proses pemilihan oleh Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) yang juga pernah dikritisi publik.

Sikap kritis HNW -sapaan akrabnya- tersebut karena belum terpenuhinya asas representatif yang dapat mewakili tiga jenis pesantren yang diakui di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Padahal, menurutnya, hal tersebut sangat dipentingkan, apalagi ini sebagai bentukan awal, yang akan dirujuk dan menjadi pola untuk yang berikutnya. Karenanya mestinya menghadirkan “sunnah hasanah” atau tradisi yang baik, benar dan adil, dengan mengakomodasi secara proporsional representasi dari tiga jenis Pesantren yang diakui oleh Pasal 2 ayat (2) UU Pesantren, yakni Pesantren yang mengkaji kitab kuning (Tradisional), Pesantren dengan sistem Muallimin (Modern), dan Pesantren yang memadukan antara Ilmu Umum dan Agama.

“Saya mengapresiasi dibentuknya Majelis Masyayikh, serta ditetapkannya para Kiai dan Nyai sebagai anggota Majelis Masyayikh. Namun, baru saja diumumkan, saya mendapatkan masalah yang juga merupakan aspirasi komunitas Pesantren yang mengkritisinya, karena bila diperhatikan komposisi Majelis Masyayikh yang terpilih belum merepresentasikan tiga jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren. Karena kemungkinan baru mewakili dua dari tiga jenis saja, yaitu Pesantren Salafiyah (yang mengkaji kitab kuning) dan Pesantren yang mengintegrasikan antara pendidikan Agama dengan pendidikan Umum, sementara yang jenis Muallimin (Modern), yang Pesantrennya juga besar dan banyak, malah belum terwakili sama sekali. Mestinya Majelis Masyayikh sesuai dengan prinsip Ahlul Halli wal ‘Aqdi, merepresentasikan secara adil dan proporsional semua jenis Pesantren yang diakui oleh UU Pesantren,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (30/12).

HNW mengatakan bahwa UU Pesantren mengklasifikasikan adanya tiga jenis pesantren, yakni pesantren yang mengkaji kitab kuning, pesantren berbentuk dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Mualimin; dan pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum.

“Ini menunjukkan bahwa UU Pesantren dibuat dan disepakati berlaku untuk semua kalangan, bukan hanya golongan tertentu saja. Sesuai realita keragaman pesantren dan perkembangannya, sejak Indonesia belum merdeka hingga UU Pesantren disahkan pada tahun 2019,” ujarnya.

“Saya melihat dari anggota Majelis Masyayikh yang terpilih, tidak ada yang berasal dari pesantren dengan pola pendidikan mualimin. Padahal itu diakui oleh UU Pesantren, dan faktanya banyak juga pesantren dengan pola Muallimin itu,” tambahnya.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menambahkan bahwa peraturan perundang-undangan memang tidak secara spesifik mengatur keharusan adanya keterwakilan tersebut, tetapi di negara Pancasila yang mempraktikkan demokrasi, dan Agama Islam yang perintahkan pemenuhan keadilan, tentu saja asas perwakilan dan musyawarah yang ada dalam sila keempat Pancasila harus dirujuk.

Dan  hal itu perlu dikedepankan sebagai konsekuensi logis dan kelaziman aturan hukum dari adanya klasifikasi tiga jenis pendidikan Islam yaitu  pesantren yang diakui oleh UU dan juga oleh Negara (Kementerian Agama). Apalagi, Majelis Masyayikh diberi kewenangan oleh UU dan peraturan pelaksananya untuk melaksanakan tugas yang sangat mendasar dan penting terkait dengan pesantren.

Pasal 29 UU Pesantren menyebutkan Majelis Masyayikh memiliki tugas, sebagai berikut: a) Menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren; b) Memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan kurikulum Pesantren; c) Merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan Pesantren; d) Merumuskan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan; e) Melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu; dan f) Memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah santri yang dikeluarkan oleh Pesantren. Pasal ini niscaya menjadi pasal yg dirujuk sebagai rincian atas Pasal 20 ayat (2) yang membatasi tapi tidak sinkron dengan tiga jenis Pesantren yang diakui oleh UU Pesantren.

“Dengan kewenangan dan tugas yang sangat strategis, penting dan mencakup semua jenis Pesantren tersebut, maka sudah sewajarnya bila anggota Majelis Masyayikh merepresentasikan semua jenis pesantren yang ada dan diakui dalam UU Pesantren,” tukasnya.

Oleh karena itu, HNW berharap Menteri Agama dan AHWA segera mengoreksi kebijakannya dengan menambahkan jumlah anggota Majelis Masyayikh agar merepresentasikan tiga jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren. Apalagi, Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren menyebutkan bahwa Majelis Masyayikh minimal terdiri dari 9 orang dan maksimal 17 orang. Dan  sekarang baru ditunjuk 9 orang saja, yang kemungkinan baru mewakili 2 dari 3 jenis Pesantren yang diakui oleh UU dan yang secara nyata ada dan diakui kiprahnya oleh masyarakat.

“Saat ini sudah ditetapkan 9 orang anggota Majelis Masyayikh. Maka demi kemaslahatan Pesantren dan tegaknya UU secara adil dan benar, sewajarnya bila Menag dan AHWA segera melakukan koreksi dan perbaikan, dengan menambahkan anggota Majelis Masyayikh hingga  dapat memenuhi asas keadilan dan representasi semua jenis pesantren yang diakui di dalam UU Pesantren. Agar Majelis Masyayikh dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara baik dan benar untuk berkhidmat kepada semua jenis Pesantren, bukan hanya kepada/untuk sebagian jenis Pesantren saja, dengan mengesampingkan  jenis Pesantren lain yang sama kedudukannya di hadapan hukum yaitu UU Pesantren,” pungkasnya.


latestnews

View Full Version