BANDUNG (voa-islam.com) - Beberapa waktu lalu beredar pesan berantai yang berisi daftar penceramah radikal.
Menurut Direktur Center of Ideological Islamic Analyst Haris Abu Ulya jika tidak lembaga resmi seperti BNPT atau semisalnya yang mengakui bahwa data itu resmi dari mereka, maka data yang beredar di sosial media adalah hoaks.
"Kalau mau obyektif dan jujur konten hoaks tersebut secara aktual melahirkan kegaduhan di dunia maya demikian juga dalam kehidupan real masyarakat. Hoaks yang mendorong publik khususnya umat Islam saling mencurigai, su'udzan, dan nyata mendisharmonisasi kehidupan sosial umat Islam," katanya kepada voa-islam.com, belum lama ini.
"Segogyanya pihak kepolisian secara aktif menelisik siapa sumber informasi hoaks tersebut. Ini fitnah terhadap banyak anak bangsa, tentu perilaku fitnah memfitnah bukan nilai budaya adiluhung dari bangsa Indonsia," lanjutnya.
"Dan di sini teramat disayangkan sikap ambigu dari BNPT terhadap masalah ini. Secara terbuka tidak mengakui sebagai sumber informasi, tapi secara implisit justru mendorong publik untuk melakukan filtering terhadap para mubaligh dengan parameter yang disampaikan oleh BNPT. Fenomena seperti ini akan dinilai oleh publik semacam permainan opini dan propaganda dengan posisi BNPT sebagai konduktor atau pengaransemen baik secara terbuka maupun tertutup," tambahnya lagi.
Harits memaklumi BNPT punya anggaran besar, punya pegawai, punya jaringan terbuka dan tertutup, punya payung hukum, dan bahkan merasa punya legitimasi sosial dan politik untuk menggelar semua proyek kontra terorisme yang sudah dirancang.
"Karena itu menurut hemat saya, publik tidak perlu kaget, heran ataupun prihatin kalau sekiranya BNPT terus memproduksi narasi-narasi yang potensial melahirkan kegaduhan dikalangan umat Islam khususnya. Selama institusi ini ada, anggaran ada maka kerja harus jalan biar ada LPJ nya. Apalagi jika mindsetnya bahwa terorisme tidak akan pernah sirna di bumi Indonesia," ujarnya.
"Jadi BNPT jangan setengah hati, sekalian bikin parameter untuk semua segmen dan jangan terbatas pada segmen mubaligh/penceramah. Misalkan; Masjid radikal, Ponpes radikal, sekolah radikal, madrosah radikal, ASN radikal, Akademisi radikal, pedagang radikal, petani radikal, buruh radikal, pejabat radikal, para profesional radikal, siswa radikal, mahasiswa radikal, santri radikal, dan lain-lain," ungkapnya.
"Kenapa tidak? Karena saya lihat ada oversimplikasi dari BNPT bahwa radikalisme pemikiran adalah akar terorisme. Biar komprehensif menjangkau semua segment dalam proyek kontra radikalisme maka sekali lagi jangan setengah hati. Dana cukup besar dan setiap tahun juga ada kenaikan signifikan. Dan jangan lupa akuntanbilitas penggunaan uang rakyat oleh BNPT perlu transparan. Biar publik juga mengerti dan bisa menerima apakah semuanya rasional," tuturnya.
Begitupun, lanjut Harist biar BNPT tidak mengadapi sandungan kritik dari banyak kalangan dengan semua proyek propaganda kontra teroris dan kontra radikalisme perlu secara rutin ada uji publik terhadap konsep, narasi sebelum di distribusikan ke publik.
Pertimbangan komprehensifnya, menurut Harits yang juga pengamat terorisme, sangat menentukan kelayakan sebuah narasi perlu pengarustamaan atau tidak.
"Dalam ruang demokrasi tidak elok ego kekuasaan dan kewenangan menjadi basis untuk membangun otoritarianisme dalam tataran teori, konsep, gagasan, atau pendapat bahkan eksekusi/tindakan," tuturnya.
"Sekalipun BNPT memiliki sandaran UU yang sudah di sahkan, fakta empiriknya acap kali melahirkan perdebatan dan kagaduhan ketika BNPT mengimplementasikan substansi UU yang ada," jelasnya.
"Moga pemegang kebijakan di BNPT dan semisalnya selalu belajar untuk bijak dan punya kesadaran bahwa semua ada tanggungjawab dunia akhiratnya," tutupnya. [syahid/voa-islam.com]