JAKARTA--Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memprihatinkan banyaknya orang yang bermasalah korupsi berniat maju dalam pemilihan kepala daerah, dan organisasi massa itu berharap pihak-pihak terkait, terutama Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi, mencegah hal itu.
"KPU, KPK, dan pihak-pihak terkait harus tegas. Seseorang yang telah menjadi tersangka tidak layak mencalonkan diri," kata Manajer Program Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) PBNU Syaiful Bahri Anshori di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan, jika negara ini benar-benar serius dalam menangani masalah korupsi, maka komitmen bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa harus ditegakkan dengan tindakan hukum yang luar biasa pula, sebagaimana termaktub dalam konsideran UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Di sini, pemerintah, terutama presiden, harus tegas pula. Pejabat publik yang telah menjadi tersangka jangan diberi wewenang terlalu luas, termasuk mencalonkan lagi," kata Syaiful yang juga Wakil Sekretaris Jenderal PBNU itu.
Menurut dia, persyaratan yang mengharuskan adanya izin dari presiden untuk memeriksa kepala daerah yang bermasalah di satu sisi justru sering dimanfaatkan sebagai "perlindungan" oleh mereka yang bermasalah.
Presiden, lanjutnya, justru harus mendorong agar proses hukum para kepala daerah yang bermasalah korupsi, terutama yang telah berstatus tersangka, menjadi prioritas. Penegak hukum pun jangan terkesan mengulur-ulur waktu.
"Tersangka yang belum ditahan, tahan segera, bahkan kalau sudah dianggap cukup bukti segera limpahkan ke pengadilan. Sekali lagi, ini kalau kita benar-benar punya komitmen bahwa korupsi merupakan `extraordinary crime`," katanya menegaskan.
Menurutnya, akan sangat fatal jika kepala daerah yang berstatus tersangka tindak pidana korupsi tetap diberi keleluasaan untuk mencalonkan diri lagi dalam Pilkada, terlebih jika KPK berpura-pura tidak tahu karena khawatir akan dianggap politis jika melakukan tindakan, sebagaimana dinyatakan Wakil Ketua KPK Bibid Samad Rianto saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI beberapa waktu lalu.
"Kalau KPK berfikir seperti itu, salah besar, karena itu justru memberi kebebasan pada tersangka untuk bertameng politik, lebih-lebih jika mereka berhasil menang kembali. Seharusnya KPK berfikir sebaliknya, tahan para tersangka itu atau segera limpahkan ke pengadilan kalau bukti telah cukup," katanya.
Sementara terhadap para calon yang belum berstatus tersangka atau telah menjalani hukuman terkait perkara korupsi, menurut Syaiful, menjadi tugas KPU untuk mencegah mereka mengikuti pilkada.
"Ini bukan persoalan tidak menghargai hak politik seseorang, namun ini soal moral, soal komitmen antikorupsi. Apalagi hukuman terhadap koruptor selama ini terbukti tidak menimbulkan efek jera," katanya.
Syaiful tidak sependapat jika urusan moral terkait pilkada diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Sebab, lanjutnya, dalam banyak kasus terbukti kekuatan modal menjadi faktor penentu kemenangan di dalam pilkada.
"Masyarakat kita masih banyak yang miskin. Kekuatan uang kebanyakan terbukti menjadi faktor penentu kemenangan," katanya.
Pada 2010, setidaknya akan berlangsung pilkada di 246 daerah, tujuh di antaranya tingkat provinsi atau pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Sebagaimana diberitakan media massa, sejumlah tokoh yang sedang atau pernah bermasalah korupsi hendak mengikuti pilkada tersebut.