SURABAYA--Ormas Islam besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang usianya jauh lebih tua dari usia Republik Indonesia tidak mungkin tidak berpolitik karena organisasi itu menjadi tempat kerumunan manusia, kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin di Surabaya, Minggu. "Kerumunan massa yang besar itu telah menjadi sumber daya politik," katanya sebelum membuka Muspim PW Muhammadiyah Jawa Timur itu, seraya menegaskan kerumunan manusia pasti memiliki bobot politik, apalagi tingkat kerumunannya besar.
Hanya saja bagi ormas Islam, kerumuman itu menjadi alat penyeru perbuatan baik dan menjauhi perbuatan mungkar (amar ma`ruf nahi munkar) sehingga orang-orang di ormas itu melakukan gerakan-gerakan politik. "Politik yang dilakukan adalah politik kebangsaan dan kenegaraan untuk menegakkan `amar ma`ruf nahi munkar`. Jadi, bukan berarti ormas tidak boleh berpolitik. Justru ini yang tidak boleh berhenti. Muhammadiyah sudah lama melakukannya," katanya.
Din, yang berniat mencalonkan diri lagi sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2010-2015 beranggapan, sikap politik kebangsaan dan kenegaraan itu berbeda dari politik praktis kepartaian di mana Muhammadiyah tegas melarang kadernya menjadi pengurus partai politik.
"Kalau seseorang berdiri pada dua lingkaran, jelas tidak fokus, paling tidak, waktunya akan terbagi. Alasan lainnya, faktor loyalitas, apalagi di situ ada kepentingan ganda yang sehingga tidak positif bagi organisasi. Saya dengar NU juga menerapkan prinsip ini," kata Din.
Sikap Muhammadiyah seperti itu juga diterapkan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). "Kami punya aturan sendiri. Kalau ada kader Muhammadiyah yang mencalonkan diri dalam pilkada, maka harus nonaktif dari kepengurusan," katanya.
Menurutnya, kalau kemudian kadernya terpilih menjadi kepala daerah, maka dia harus mengundurkan diri. "Kami anggap Muhammadiyah telah mewakafkan kadernya untuk daerah atau negara. Tetapi, kalau tidak jadi, harus kembali lagi ke kepengurusan," katanya.
Red: krisman
Rep:
Sumber: ant